(Juara II Lomba Cerpen LPM Edukasi Dasar, 2012)
Kau berdiri gamang di atas trotoar, tepat di perempatan jalan. Matamu melirik lampu yang menyala hijau kemudian berganti kuning. Gelisah. Wajahmu yang kumal karena memang dibuat kumal dan dihiasi coretan debu serta lumpur mengernyit-ngernyit, menahan rasa sakit.
Ketika lampu berubah merah, kau terpincang-pincang, tertatih menyusuri jalan, mendatangi kendaraan demi kendaraan. Dadamu berdebar-debar kencang saat tak satu pun dari pengemudi atau penumpang memasukkan uang ke dalam kaleng yang kausodorkan.
Hari ini pasti mengerikan, lebih mengerikan dari kemarin.
Benakmu merapal sesal, sedikit kesal. Ya, hari kemarin kau terpaksa pulang dengan pendapatan seadanya yang tentu saja membuat perempuan yang kau panggil emak menandak-nandak dalam amarah. Ia, perempuan dengan gincu merah menyala dan maskara tebal membingkai mata itu melayangkan pukulan demi pukulan kepada kakimu yang ringkih.
“Dasar anak tak tahu diri! Pemalas benar kamu ini. Apa saja yang kamu lakukan di jalan, hah? Main-main?” gagang sapu mendarat di kakimu, ditingkahi teriakan dan cacian perempuan itu.
Kau menangis, meraung-raung meminta ampun, dan berjanji akan bekerja lebih keras lagi, tapi pukulan itu tak jua berhenti hingga kakimu bengkak, lebam, berderak-derak ketika dibawa berjalan. Mungkin kakimu sempurna patah, tapi kau tak peduli sepanjang nyawa masih ada di kerongkongan, sepanjang kau masih bisa menatap matahari esok pagi. Bagimu, hidup yang keras bukan hanya cerita-cerita di atas kertas.
Masih terpincang-pincang, kau meringis, menerus menyusuri jalan dan menyodorkan kaleng kosong kepada setiap pengemudi dan penumpang kendaraan. Sebagian dari mereka tentu berpikir bahwa kakimu yang tertatih hanyalah pura-pura, wajahmu yang letih juga palsu belaka. Tapi tak seorang pun tahu apa yang sedang berlarian di dalam kepalamu; rasa takut sekaligus putus asa yang kalut dan berlarut-larut.
Tepat di pinggir sebuah angkutan kota, kau kembali menyodorkan kaleng kepada para penumpang, bergumam-gumam meminta rasa kasihan. Sebetulnya engkau tahu, bahwa hal itu lebih hina dari apa pun, tapi kau tak bisa menyangkal karena memang hidup tak memberi banyak pilihan.
Seorang anak perempuan seusiamu, masih memakai seragam sekolah, duduk di angkot sambil menjilati es krim di dalam corong. Anak perempuan itu bersandar kepada seorang perempuan yang kautebak sebagai ibunya. Ada beberapa kantong belanjaan di pangkuan mereka, dua kotak sepatu dan entah apa lagi.
Kau melirik jengah kepada dua kotak sepatu itu, memandang kakimu sendiri yang telanjang sedari tadi. Kau juga melirik gelisah, nyaris iri kepada pakaian seragam anak perempuan itu dan mulai membandingkan dengan pakaian kumalmu. Kau berpikir, betapa orang lain memiliki segalanya dan kau tak memiliki apa-apa.
Lamunanmu dicekal oleh bunyi kelontang di dalam kaleng, kau mendongak, kemudian mengucapkan terima kasih dan doa-doa yang diajarkan Emak. Anak perempuan itu memandangimu, lalu dari sakunya ia mengeluarkan selembar uang dan memasukkannya ke dalam kalengmu. Kau tercekat, memandang warna merah dan lima buah angka yang tercetak.
“Te … te … rima kasih…” suaramu tergagap-gagap.
Anak perempuan itu menyunggingkan senyum. Seketika harimu yang pasi berisi banyak sekali sinar matahari. Kau pun tersenyum, lalu kembali tertatih ke pinggir jalan, lampu merah sudah berakhir dan kau harus menunggu untuk melakukan hal yang sama di lampu merah berikutnya. Perputaran yang seakan tak pernah usai.
Kau terduduk di trotoar, menghitung uang dari dalam kaleng. Seperti petuah Emak, kaleng tak boleh dibiarkan terisi di putaran berikutnya, maka kau memasukkan uang-uang di dalam kaleng ke dalam kantung belacu dan menjejalkannya di saku baju. Sambil menatapi jalanan berdebu dan panas yang menjerang, kau kembali teringat senyum anak perempuan di angkot itu, teringat kepada baju seragam dan dua kotak sepatu.
Dalam hidupmu yang baru delapan tahun, tak pernah sekali pun kau memakai seragam.
“Sekolah tak akan membuatmu kaya,” begitu selalu kata Emak.
Padahal kau ingin sekali pergi ke sekolah, menyandang ransel berwarna merah muda dan memakai sepatu baru. Kau ingin bisa membaca supaya plang jalan dan berbagai macam iklan bukan hanya pendar gambar-gambar. Agar coretan tanganmu di buku tulis bekas bukan hanya cabikan ceker ayam. Sayangnya keinginan, sesederhana apa pun itu, tak pernah sempurna terlukis di dalam hidupmu. Mereka, keinginan-keinginan dan harapan itu selalu saja menyublim tak berbekas, ditelan udara, ditelan kehidupan nyata.
Kau tak dapat mengingat, sejak kapan tepatnya terdampar di pinggir jalan raya dengan kaleng kosong di tangan dan gumaman-gumaman doa yang bahkan tak kauketahui artinya. Yang kau ingat adalah, bahwa Emak akan mengantarmu pagi buta lalu menjemputmu ketika malam tiba. Setelah itu Emak akan merenggut kantung belacu di sakumu, memeriksa setiap lekuk tubuhmu, menyuruhmu mandi, dan memberimu makan lalu kau bisa pergi tidur.
Makan adalah sepiring nasi nyaris basi dengan lauk oseng kangkung atau genjer dan seiris tempe atau tahu goreng. Tak pernah lebih dari itu. Bahkan di hari raya Idul Adha kau harus menelan kecewa ketika daging-daging yang berhasil kaukumpulkan segera berpindah tangan, berganti dengan lembaran uang, yang tentu saja tak diserahkan kepadamu melainkan terlipat dan menyusup di belahan dada Emak.
Tidur adalah juga perkara yang lain, ketika angin dingin selalu saja memiliki jalan untuk menyelusup ke dalam selimutmu yang berlubang-lubang. Tak ada kasur maupun bantal, yang ada hanyalah tumpukan kardus dan sebuntal kain yang kaugunakan sebagai alas kepala agar lehermu tak sakit ketika terbangun di pagi hari.
Sementara Emak, tentu saja memiliki sebuah ranjang dengan kasur busa empuk dan selimut tebal di dalam kamarnya. Kau tak pernah tahu apa saja isi kamar tidur Emak karena kamar itu senantiasa terkunci, hanya sesekali terbuka di malam hari ketika datang tamu lelaki dan kau bisa sedikit mengintip
Lampu hijau di perempatan berubah kuning dengan cepat, berubah merah dengan kecepatan yang sama. Kau tergopoh, ada siang yang harus kautaklukkan sebelum Emak menjemputmu pulang nanti malam. Namun di setiap perempatan, anak-anak sepertimu tak pernah berjumlah satu, selalu saja ada anak lain dengan wajah kumal dan pakain kusam yang sama, juga kaleng kosong yang sama.
Kau memandang salah satu di antara mereka sambil tetap tertatih menyusuri jalan, beralih dari satu kendaraan yang satu ke kendaraan yang lain. Di sebelah kananmu, seorang anak perempuan yang lebih tua menggendong seorang bayi laki-laki yang kerap meronta karena cuaca begitu panas dan ganas. Kau ingin sekali merenggut bayi laki-laki itu kemudian membawanya ke tempat teduh, memberinya minuman dingin atau membawanya ke taman bermain.
Kau tak pernah memiliki saudara, tidak adik, tidak juga kakak. Kata Emak kau sebatang kara. Dan memang itulah yang kau rasakan meski Emak masih kau anggap sebagai keluarga. Tapi Emak bukanlah anggota keluarga yang engkau damba. Kau menginginkan ibu yang tidak memukul, tidak mencaci, tidak selalu menerima tamu lelaki, dan tidak membiarkanmu terdampar di jalan ini.
“Dapat banyak?” anak perempuan yang menggendong bayi laki-laki menghampirimu ketika lampu lalu-lintas sudah kembali berubah hijau.
Kau hanya menganggkat bahu. “Lumayan,” jawabmu.
“Setiap hari aku harus setor seratus ribu, kamu harus setor berapa?” anak perempuan itu kembali bertanya dengan logat Jawa yang kental. Kau segera tahu bahwa anak perempuan di depanmu bukan berasal dari kota yang sama denganmu.
“Seratus lima puluh ribu,” jawabmu singkat. Matamu beralih kepada bayi laki-laki yang sekarang menangis keras.
“Hah? Besar sekali. Bossmu pasti rakus,” anak perempuan itu menimbang-nimbang bayi lelaki di pangkuannya.
“Itu adikmu?” tanyamu.
“Bukan, ini entah anak siapa. Sengaja dibawa agar orang-orang merasa kasihan,” geligi anak perempuan itu tersembul ketika ia tersenyum.
“Kasihan dia, panas-panas begini ada di jalanan. Kenapa tak kamu simpan saja di tempat teduh?”
“Dan mengurangi penghasilanku? Karena ada anak ini aku bisa menghasilkan uang seratus ribu, tahu. Kalau tak ada dia penghasilanku selalu ada di bawah itu. Dan itu artinya aku harus tidur di luar dan tak mendapat jatah makan.”
Kau ingin meracau, menjawab pernyataan anak perempuan itu dengan kekesalan dan keberatan. Tapi kau tahu sendiri bahwa hidupmu dan hidupnya berada di pusaran yang sama, tak memiliki banyak pilihan kecuali bertahan dari hari ke hari. Maka kau hanya mengangkat bahu, memasukkan uang ke dalam saku.
Ingatanmu kembali kepada Emak, perempuan yang selalu mengatakan bahwa kau harus banyak bersyukur karena tak membiarkanmu mati di selokan delapan tahun lalu. Engkau memang tahu bahwa Emak bukanlah ibu kandungmu. Emak hanya perempuan yang masih memiliki hati ketika seluruh manusia di gang tempatmu tinggal tak peduli. Kadang kau berpikir, barangkali lebih baik berakhir di selokan dan mati selagi masih bayi daripada harus berakhir di jalanan dengan kaleng kosong di tangan.
Malam ini Emak tidak menjemputmu pulang, padahal penghasilanmu sudah mencukupi dan kau bisa terbebas dari pukulan di kaki. Dengan rasa lelah tak terhingga, kau menumpang angkutan kota, menuju tempat yang masih kau panggil rumah meski tempat itu tak begitu indah.
Kakimu masih tertatih, menyusuri gang becek berbau bacin. Di sepanjang gang, kau melihat banyak perempuan dengan gincu tebal dan berpakaian seadanya. Seorang lelaki dengan napas beraroma tajam menjawil dagumu ketika kau berbelok, kau mempercepat langkah, merasa takut, teramat takut.
Di dalam rumah, tak kautemukan siapa-siapa kecuali ruangan gelap dan pengap. Tak ada suara cekikian Emak, tak ada suara percakapan samar dari dalam kamar. Tak ada apa-apa. Memang, kau sempat berharap bahwa kelengangan rumah akan menyambutmu setiap kali pulang. Namun rumah tanpa Emak ternyata begitu sunyi, begitu sepi. Kau menggigil, tanganmu gelagapan mencari tombol lampu di dinding.
Perlahan, kau mendekati pintu kamar. Mungkin Emak tengah tertidur pulas entah dengan siapa dan lupa menjemputmu. Atau barangkali Emak pergi entah ke mana. Kau mengetuk, berharap cemas ada orang di dalam kamar sana. Ketukanmu bersambut sunyi yang sama. Maka dengan amat perlahan kau membuka pintu yang ternyata tidak terkunci.
“Hei, mau apa kamu ke kamarku?” suara perempuan dari belakangmu.
Seketika kau menoleh dan merasa teramat lega karena itu suara Emak. Tak pernah kau merasa selega itu.
“Emak tidak datang menjemput?” tanyamu takut-takut.
“Halah, kamu kan sudah besar. Sudah bisa pulang sendiri,” Emak mencibir, tangannya menengadah.
Tanpa banyak bicara kau menyerahkan kantung belacu dari saku. Emak tersenyum cerah, bibir merahnya merekah setelah menghitung jumlah uang di dalam kantung. Kali ini ia tak menggeledah bajumu melainkan mengajakmu duduk di kursi rotan tua di ruang tamu. Tangan Emak merangkul bahumu, suaranya sudah berubah dari cibiran dan dengusan ke nada yang lebih ramah. Engkau tentu senang, belum pernah Emak seramah itu.
Seorang lelaki menyambutmu dengan senyum aneh ketika kau duduk. Kau tak pernah melihat lelaki itu. Emak punya banyak langganan, ada juga tamu yang baru sekali datang, tapi kau tak pernah sekalipun melihat lelaki itu. Tubuhmu gemetar, ada ketakutan tak wajar yang diam-diam bergelenyar.
“Ini anaknya?” lelaki itu bertanya pada Emak dengan binar mata yang tak bisa kaubaca.
Emak mengangguk. “Cantik kan? Memang sih, dia agak kumal. Tapi kalau sudah dibersihkan, dia cantik juga kok.”
Engkau menggigil sementara dua orang di hadapanmu mengeluarkan percakapan-percakapan yang membuatmu semakin ketakutan. Kau memandang Emak, lalu beralih pada lelaki itu. Di benakmu terserak banyak pertanyaan.
“Ada apa? Saya mau dibawa ke mana?” akhirnya pertanyaan itu pecah dari mulutmu.
Emak, masih dengan senyumnya yang ramah dan raut semringah membelai rambut dan pipimu. Tubuhmu semakin gemetar, sentuhan Emak tidak menenangkan melainkan berubah menikam.
“Neng, kamu belum pernah naik pesawat, kan? Nah, Bapak yang baik ini mau membawa kamu naik pesawat. Nanti di sana kamu bisa pakai pakaian bagus, makan enak. Di sana juga ada laut, kamu belum pernah melihat laut, kan?” bujuk Emak.
Suara Emak terdengar asing di telingamu. Kau memang belum pernah naik pesawat, belum pernah memiliki pakaian bagus, belum pernah makan enak, kau juga belum pernah melihat laut.
“Saya akan dibawa ke mana?” tanyamu lagi.
“Kepuluan Karimun, di sana tempat yang menyenangkan,” jawab lelaki yang duduk di depanmu.
Dan di manakah tempat itu? Benakmu kembali merapal pertanyaan. Kakimu yang kecil hanya sempat mengarungi Bandung, itu pun dari lampu merah ke lampu merah yang lain, bukan dari tempat wisata yang satu ke tempat wisata yang lain.
“Saya hanya ingin sekolah, apakah di sana ada sekolah?”
Lelaki itu menatap Emak kemudian menjawab dengan gugup. “Bisa, bisa … di sana tentu ada sekolah. Kamu bisa sekolah di mana saja kamu suka.”
Emak mengeluarkan senyumnya lagi, tangan Emak kembali membelai rambutmu. “Mandilah dulu, Neng. Nanti kamu bisa ikut bapak ini untuk sekolah.”
Kau tidak banyak berbicara, kakimu melangkah menuju kamar mandi di belakang rumah. Kau memang ingin sekali meninggalkan Emak, meninggalkan suara-suara desah samar setiap malam, meninggalkan jalanan, meninggalkan hidup yang terjal. Jika lelaki tadi bisa membawamu kepada sekolah, maka kau akan ikut dengan senang hati. Terlintas wajah anak perempuan di angkot dengan seragam putih merah dan kotak-kotak sepatunya, engkau tersenyum, rasa takutmu perlahan hilang.
Tapi rasa takutmu kembali datang saat kau berpakaian di balik dinding papan, tempat kau bisa mendengar dengan jelas percakapan-percakapan di ruang tamu.
“Bagaimana? Kamu suka kan sama anak itu? Kira-kira dia bisa dijual berapa?” suara Emak.
Terdengar suara lelaki terkekeh-kekeh. “Anakmu memang cantik, Sumi. Klienku pasti suka.”
“Dia bukan anakku,” suara Emak berubah dingin. “Berapa uang yang akan kuterima? Dua puluh juta sesuai dengan kesepakatan kita sebelumnya? Kalau kurang, aku tak akan menyerahkan anak itu. Lebih baik kudidik sendiri, sepuluh tahun lagi dia bisa menjadi kembang di sini.”
Kekeh laki-laki lagi. “Sumi …, Sumi …. Kau memang tak pernah mau rugi. Tenang saja, uangnya sudah aku sediakan asal anak itu benar-benar bisa diatur.”
“Dia sudah tahu apa pekerjaanku, pasti sudah terbiasa dengan itu.”
Tubuhmu bergeletar. Kepalamu sibuk mencerna. Pekerjaan Emak? Cantik? Dua puluh juta? Tapi kau hanya ingin sekolah, kenapa untuk sekolah harus cantik dan harus bekerja seperti Emak? Kau tak ingin menerima tamu lelaki, tak ingin bekerja seperti Emak. Lebih baik kau mengemis seumur hidup daripada harus bekerja seperti Emak.
“Hei, mana anak itu? Kenapa lama sekali?” suara lelaki itu kembali menggelegar.
Perlahan-lahan kau berjingkat, keluar melalui pintu belakang, berlari menuju gang kecil berbau bacin. Telingamu masih dapat menangkap teriakan Emak ketika mendapatimu tak ada.
Kau berlari, semakin kencang, semakin kencang.
Kaki kecilmu menerobos genangan air, menerobos udara malam yang kelam. Napasmu memburu dan dadamu terasa nyaris pecah. Tapi kau harus lari. Kau harus menyelamatkan diri. Maka kau berlari meski dada dan kakimu teramat nyeri.
Dia bukan anakku!
Suara Emak terngiang-ngiang di telingamu. Engkau sudah lama tahu itu, tapi ketika sekali lagi mendengarnya dari mulut Emak, perempuan yang seumur hidup telah engkau anggap sebagai ibu, mau tak mau hatimu tersayat sembilu.
Barangkali engkau memang tak terlahir dari rahim perempuan mana pun. Engkau anak matahari, Neng. Anak yang dibesarkan oleh terik. Anak yang diasuh oleh semesta. Dan dunia adalah rumah yang selama ini engkau damba.
“Aku hanya ingin sekolah, bukan bekerja seperti Emak,” di sela isak mulutmu bergumam-gumam.
Kakimu terus berlari, menuju malam, menuju kelam.
(Bandung, 8 Desember 2012)