(Dimuat di Inilah Koran, 28 Juli 2013)
Isum percaya, bahwa bebegig yang ia pasang bukan hanya melindungi padi-padi dari hama, tapi juga melindungi tiga petak sawahnya dari para pengusaha pabrik yang rakus. Satu bebegig untuk satu petak sawah, dipancangkan tepat di tengah-tengah seperti Cerberus yang setia menjaga gerbang neraka. Tapi bagi Isum, bebegig-bebegig itu adalah penjaga ladang surganya; penjaga perut ketiga anaknya.
Untuk membuat satu buah bebegig, Isum memotong bambu sepanjang satu setengah meter, seukuran tinggi tubuhnya. Bilah bambu kedua dipotong sepanjang satu meter kemudian diikat di bagian atas bambu pertama sehingga kedua bilah bambu itu membentuk salib. “Ini untuk tangan,” katanya kepada Dasep, anak sulungnya. Dengan jerami padi bekas panen sebelumnya, Isum membentuk kepala, badan, dan tangan. Dengan penuh kasih sayang seperti kepada anak-anak yang lahir dari rahimnya, Isum memakaikan baju, celana, dan caping di kepala bebegig ciptaannya.
Baju dan celana yang ia pakaikan adalah peninggalan Karman, suami yang meninggalkannya ketika ia hamil muda. Menurut kabar yang Isum terima, Karman memang berhasil mendapatkan pekerjaan di Jakarta, tapi kemudian hatinya (jika Karman memiliki hati) tergoda janda muda yang memberikan janji-janji surga. Karman tak kembali. Isum tak peduli. Baginya, rasa sakit tidak untuk diratapi. Baginya, hidup bukan hanya tentang memikirkan laki-laki.
Meski ya, kerinduan kadang datang tak diundang. Walau bagaimanapun, ia dan Karman pernah bertahun-tahun dikelantang asam garam kehidupan. Isum mahfum, sebagaimana kematian, kehilangan akan selalu datang, cepat atau lambat.
Ketiga bebegig berpakaian Karman itu dipasang Isum di tengah sawah ketika padinya sedang berbuah. Dengan bantuan Dasep yang tak pernah mengecap bangku sekolah meskipun usianya sudah beranjak sepuluh tahun, Isum memasang temali dari satu bebegig ke bebegig lain agar ketiganya bisa digerak-gerakkan dari saung tempatnya biasa bernaung.
Kepercayaan Isum terhadap bebegig ciptaannya semakin bertambah ketika satu per satu sawah di sekitar sawahnya dibeli paksa oleh pengusaha sedangkan sawahnya tidak. Bukan karena para pengusaha itu tidak berniat membeli, tapi karena Isum memang bertahan dari segala bentuk ancaman, yang halus maupun kasar. Konon, sawah-sawah di Kalihurip akan ditimbun lalu dibangun. Sebagian untuk gedung-gedung pabrik, sebagian lagi untuk jalan agar kontainer-kontainer berisi barang ekspor bisa lewat.
Satu musim panen terlewati dan bebegig Isum menjalankan tugasnya dengan sempurna; menjaga sawah dari serbuan hama burung, menjaga dari serbuan pengusaha, juga menjaga perut ketiga anaknya. Kadang, jika di malam hari saat Isum memeriksa pintu air yang bersumber dari ragasi, Isum menatap nanar kepada bebegig-bebegig ciptaannya. Di dalam kegelapan, di bawah selarik remang cahaya bulan, bebegig-bebegig itu seolah menjelma Karman, suaminya.
Rindu adalah perasaan janggal yang tak bisa dibantah. Maka dengan terisak, Isum akan merangsek maju ke tengah sawah, memeluk salah satu bebegig sambil bergumam-gumam.
“Kang, pulang, Kang …” ratapnya.
Jika sudah begitu, Isum pulang dengan mata lebam, masuk ke kamar biliknya lalu meringkuk dan terus menangis sampai azan subuh terdengar dari musala. Tapi kejadian seperti itu tidak sering terulang karena sebagai ibu dari tiga orang anak dan petani, Isum memiliki banyak kesibukan.
Dasep tahu, jika di pagi hari ibunya duduk di depan tungku dengan mata sembab, berarti malam sebelumnya ibunya itu kembali merindukan bapaknya. Pernah suatu kali Dasep ingin sekali mengarungi kota Jakarta dengan menumpang truk pasir untuk mencari Karman. Dasep tak ingin Karman kembali sebab ia sudah bosan dipukuli, Dasep hanya tak ingin melihat ibunya menangis lagi.
Di hari lain, Dasep pernah mengutarakan niat untuk membuat bebegig yang dipasang di dalam rumah, lengkap dengan pakaian Karman agar mereka masih bisa merasakan kehadirannya. Tapi Isum melarang. Bagi Isum, hal itu sama saja dengan memelihara ingatan sedangkan ia ingin sekali lupa. Barangkali Dasep belum mengerti, bahwa yang membuat ibunya sakit bukan hanya karena bapaknya tak kembali, melainkan karena kesetiaan yang berkali dikhianati.
Maka hanya ada tiga bebegig yang dibuat Isum, tak lebih.
Layaknya Cerberus yang setia, bebegig-bebegig itu menjaga ketiga petak sawah Isum dari serangan hama dan para pengusaha. Berkat kesetiaan bebegig-bebegig itu pulalah, Dasep bisa mengecap bangku sekolah meskipun agak terlambat. bebegig-bebegig itu menjaga sawah, menjaga Isum dan ketiga anaknya, tidak seperti Karman yang lalai.
Karena terus-menerus dibantai matahari, hujan dan angin malam, bebegig-bebegig Isum perlahan aus seperti orang tua kurang urus. Meski bambu penyangganya sekokoh pagar-pagar besi, namun jerami dan pakaian mereka camping satu demi satu. Isum, dengan telaten akan memperbaiki mereka setelaten seorang istri merawat suaminya yang tengah sekarat.
Ditambahkannya jerami-jerami baru sehingga bebegig-bebegig-nya kembali gemuk. Karman, meskipun miskin tapi memiliki banyak pakaian, maka bebegig-bebegig Isum tak usah telanjang. Mereka akan selalu memiliki pakaian.
Tanpa sepengetahuan Isum, Dasep dan kedua adiknya memanggil bebegig-bebegig penjaga sawah mereka dengan sebutan bapak. Sebab di dalam ingatan mereka, wajah Karman perlahan pudar, berdenyar seiring panen demi panen. Dasep dan adik-adiknya hanya mengingat Karman dari pakaian yang dipakaikan kepada bebegig. Maka seperti itulah wajah Karman dalam ingatan mereka; bapak berwajah jerami.
Isum masih percaya, bahwa bebegig yang ia pasang bukan hanya melindungi padi-padi dari hama, tapi juga melindungi tiga petak sawahnya dari para pengusaha pabrik yang rakus. Namun kepercayaan dan kesetiaan kadang tidak sejalan dengan peradaban yang terus lesat berlari. Petak-petak di sekitar sawah Isum sudah nyaris seluruhnya terbeli. Tetangga-tetangganya pindah ke kampung atau ke kota lain. Isum tidak tahu apakah mereka masih setia kepada tanah dan sawah, ataukah sudah berganti menjadi profesi lain yang tidak ia pahami.
Kalihurip yang gelap dan sunyi karena belum terjamah listrik kemudian menjadi kampung yang bising. Traktor-traktor berukuran raksasa didatangkan dari kota, meratakan tanah, mengubur sawah-sawah. Para pekerja yang didatangkan bahkan lebih menakuti burung-burung daripada bebegig-bebegig Isum. Pengusaha-pengusaha pabrik itu tidak kenal kata menyerah.
Isum, rumah biliknya, tiga petak sawahnya, dan bebegig-bebegignya nyaris sendirian di tengah-tengah tegalan. Dengan dalih menghambat pembangunan, aparat desa mulai berdatangan. Mula-mula hanya membujuk dengan iming-iming uang tunai. Wakil para pengusaha pun datang, menawarkan uang dengan jumlah yang lebih besar. Isum bergeming. Ketiga petak sawahnya bukan hanya harta, tapi satu-satunya jalan hidup yang ia tahu.
“Nanti kamu bisa membeli sawah dan membangun rumah di tempat lain,” bujuk mereka.
Isum menggeleng, baginya tempat lain tidaklah sama. Berpindah berarti ia harus mencerabut akar sejarah hidupnya sendiri. Rumah dan ketiga petak sawah itulah satu-satunya peninggalan orang tua Isum. Di tempat itu pulalah ia memulai kehidupan bersama Karman yang datang tak membawa apa-apa lalu pergi meninggalkan luka menganga.
Dasep dan kedua adiknya juga tak siap pergi. Ada banyak pohon buah yang bisa mereka panjat di Kalihurip, di pekarangan rumah panggung mereka. Ada tiga bebegig yang mereka panggil bapak. Mereka tak ingin pergi, rumah dan sawah baru pastilah tidak sama. Lagi pula, mereka tak yakin apakah di tempat baru nanti ibu mereka masih bisa membuat bapak.
Di suatu malam yang sunyi, ketika bulan tak lebih dari segaris binar di atas langit sana, Isum seperti biasa memeriksa pintu air yang mengalir ke sawah-sawahnya. Empat puluh hari lagi sawahnya bisa dipanen. Bulir-bulir padi gemuk menunggu ani-ani memisahkan mereka dari tanah basah tempat mereka bertumbuh. Senyum Isum terbit memandang tiga petak sawahnya dari kejauhan. Putri bungsunya merengek meminta sepatu baru untuk Lebaran, ia yakin akan bisa menunaikan keinginan itu.
Isum hendak berbalik pergi ketika ia baru sadar bahwa jumlah bebegig di sawahnya tidaklah tiga. Mungkin ia sebodoh keledai dan tak bisa membantu PR matematika Dasep, tapi ia masih bisa menghitung dengan tepat. Ia berbalik, memicingkan mata dalam kegelapan. Tidak, ia tak salah lihat, di petak sawahnya ada lebih dari tiga bayang-bayang bebegig. Sambil berjalan perlahan, Isum mulai menghitung. Satu, dua, tiga, lima, tujuh, sembilan …. Sebelum hitungan Isum tuntas, bayang-bayang berloncatan menjauh diikuti dengan pendar merah. Mula-mula kecil, lalu menjadi besar, semakin besar.
Isum berlari panik, memburu padi-padinya yang dipanen api, memburu bebegig-bebegig berpakaian Karman yang berkobar-kobar. Isum menjerit, tangannya menggapai-gapai udara panas, menuding-nuding tanpa tahu harus meminta tolong kepada siapa.
Dasep dan kedua adiknya menatap kobar api dari rumah mereka. Menatap ibunya yang kalap nyaris gila.
“Mereka membakar Bapak,” isak Dasep.
*bebegig=orang-orangan sawah (Sunda)