(Dimuat di Tribun Jabar, 15 September 2013)
Ada banyak kematian yang dikabarkan dengan berbagai cara dan pertanda. Jika di kampung lain, pertanda datang dalam bentuk nyanyian burung uncuing atau gerombolan burung golejra di atap rumah tetangga, maka tidak begitu dengan kampung kami. Pertanda kematian datang dalam bentuk binturung, binatang serupa musang yang diceritakan sering memangsa anak ayam.
Kematian yang ditandai dengan nyanyian burung uncuing di atas pohon huni biasanya hanya kabar yang meraba-raba atau sejenis aba-aba. Kadang, kabar itu tidak sampai selama berhari-hari, jadi kami berhenti waswas akan nasib orang-orang yang berada di perantauan atau handai tolan yang bermukim di tempat berjauhan. Pun, gerombolan burung golejra sering tertukar dengan musibah kebakaran. Tapi orang-orang tetap saja takut sehingga jika gerombolan burung itu bertengger di atap rumah, mereka cepat-cepat mengusirnya. Sampai hari ini, aku tidak habis mengerti, mengapa orang-orang lebih takut kepada api daripada kepada mati.
Tapi jangan pernah meragukan kematian yang dikabarkan oleh binturung. Binatang berbulu hitam yang ukuran tubuhnya lebih besar daripada kucing bunting itu membawa kepastian sehingga menjadi semacam ramalan. Kami takut setengah mati setiap kali binturung terlihat merayap-rayap di atas batang pohon geredog yang tumbuh di pemakaman.
Baiknya kuceritakan perihal pemakaman itu terlebih dahulu agar kalian mengerti dan berhenti bertanya-tanya mengapa binturung ada di sana, bukannya di tempat lain seperti hutan belantara. Pemakaman di kampung kami berada tepat di sebelah kiri jalan masuk kampung. Hal itu tentu saja membuat kampung kami menjadi tempat yang terlihat menyeramkan. Jalan masuk kampung lain berhiaskan gapura atau bangunan lainnya, tapi di kampung kami orang-orang malah disambut dengan pemakaman yang luasnya cukup untuk membangun tiga puluh rumah, mungkin lebih.
Aku sering bertanya mengapa pemakaman justru diletakkan di sana, bukan di tempat lain yang lebih jauh dari pandangan mata. Kata Emak, masih untung pemakaman itu tidak terletak di tengah kampung. Jika itu yang terjadi, tentu aku tak akan pernah berani tidur dan buang hajat sendiri di malam hari. Nah, pemakaman itu sendiri memang berbatasan langsung dengan hutan karet, tempat Bapak menjadi kuli sadap. Jadi ya, memang tidak aneh kalau ada hewan yang tersesat masuk kampung. Tapi tunggu dulu, ceritaku belum selesai.
Tanah pemakaman itu tidak hanya menjadi tempat dibenamkannya orang-orang mati di kampung kami, tapi juga tempat tumbuhnya berpuluh-puluh batang pohon geredog sebab tak ada pohon lain yang berani tumbuh di sana. Mungkin itu pohon siluman, pikirku. Pohon-pohon berbuah masam itu pastilah mengambil saripati tubuh orang-orang mati di sekelilingnya sehingga buahnya yang berbentuk seperti sawo belanda itu begitu masam. Aku tak pernah berani memakannya meski bentuk dan warnanya menggoda.
Jika akan ada kematian di kampung kami, maka binturung akan terlihat di salah satu pohon geredog. Dia datang selepas senja menjelang malam; saat-saat rawan ketika setan bangun untuk bergentayangan. Barangkali tidak aneh jika dia datang berdua dengan pasangannya atau bergerombol seperti burung golejra. Tapi ia datang sendirian, dengan bau menyengat yang keluar dari bawah pangkal ekornya, merayap dari dahan ke dahan. Ada yang lebih aneh lagi, binturung yang datang adalah binturung yang sama, dengan codet di atas mata kirinya. Aku tahu karena aku pernah berpapasan dengannya tiga hari sebelum kematian Bapak.
Menurut cerita Emak, binturung itu pertama kali datang beberapa hari sebelum berpuluh-puluh orang berbaju hijau dengan truk-truk besar beroda banyak mengepung kampung kami. Masa itu panen gagal dan orang-orang kampung nyaris mati kelaparan. Maka mereka memasukkan ayam-ayam ternak ke dalam rumah. Tak ada yang mengira bahwa binturung yang datang adalah pertanda bagi kematian tujuh belas orang laki-laki, dua orang di antaranya adalah bapak dan pamannya Emak. Mayat ketujuhbelas orang itu ditumpuk begitu saja di depan jalan masuk kampung dengan banyak lubang di tubuh mereka. Setelah mayat-mayat itu ditemukan, binturung itu pun hilang.
Ketika Emak kutanyai tentang alasan mengapa orang-orang berbaju hijau itu mencelakai tujuh belas orang laki-laki di kampung kami, Emak hanya menggeleng-gelengkan kepala. De-i-te-i-i, hanya itu yang keluar dari mulut Emak, selebihnya ia tak memperpanjang cerita. Aku mahfum, barangkali Emak masih terluka akibat kehilangan bapak dan pamannya. Barangkali juga karena Emak sudah lupa karena hal naas itu terjadi ketika ia masih begitu belia. Tapi aku masih ingat kematian Bapak. Aku tak akan pernah lupa.
Setelah kedatangan pertamanya, orang-orang di kampung kami mulai sadar bahwa binturung yang datang saat senja itu adalah pertanda bagi kematian; kematian orang-orang dekat, pun kematian orang-orang jauh. Binturung yang sama, codet di atas mata kiri yang sama. Aku pun heran, apakah binatang tak pernah bertambah tua? Ataukah binturung di kampung kami merupakan utusan Izrail, malaikat maut yang keberadaannya tak dihitung dengan usia?
Sekarang mari kuceritakan tentang kematian Bapak. Bapak adalah lelaki istimewa di mataku dan Emak. Sebelum menjadi petani dan menikah dengan Emak, Bapak memang pernah bekerja di kota, menjadi kuli angkut di pasar. Sesekali Bapak menjadi kuli sadap di perkebunan karet yang entah milik siapa, mungkin milik pemerintah, mungkin juga milik perusahaan swasta.
Waktu itu hari Kamis, dua tahun setelah Gunung Galunggung meletus, aku masih ingat sebab debu dan pasir yang ditinggalkan masih membukit tak jauh dari kampung kami. Aku tengah berlari-lari sehabis menonton kuda renggong di kampung sebelah. Tak banyak hiburan dan keramaian yang bisa kudapat, jadi khitanan anak bungsu kades dan kuda renggong adalah hal mewah. Aku, Dusep, dan Ahmad menonton paling depan saat kuda-kuda itu beraksi; menari dan memakan beling sehingga lupa kalau selepas magrib kami harus mengaji.
Karena kakiku yang pincang, maka aku tertinggal jauh di belakang. Matahari sudah condong sekali ke barat sana, aku memelankan lari ketika sampai di jalan masuk kampung, menoleh ke kanan dan kiri. Di tolehan yang kesekian, di bawah bebayang rimbun pohon geredog, binturung itu merayap tenang. Pada detik entah keberapa, matanya bersirobok dengan mataku, ada codet di atas mata kirinya. Itu binturung yang sama dengan yang datang mengabarkan kematian kakek. Kemudian aku berlari sekencang mungkin menuju rumah untuk memberitahu Emak.
“Bapakmu belum pulang,” Emak menyambutku dengan raut cemas bahkan sebelum aku mengabarkan tentang pertemuanku dengan binturung di pemakaman.
Bukan sekali itu Bapak pulang terlambat, tapi berita-berita yang dibawa oleh orang yang baru datang dari kota membuat keterlambatan Bapak menyiksa Emak. Aku hanya mengatakan bahwa mungkin Bapak masih berada di pinggir hutan, menunda perjalanan karena terhalang azan magrib lalu memutuskan mencari tempat bersih untuk salat. Sepanjang ingatanku, Bapak tidak pernah meninggalkan salat dalam keadaan apa pun.
Namun keesokan harinya Bapak tidak juga pulang, Emak cemas, aku pun cemas. Aku tak berani mengatakan tentang binturung yang kulihat kepada Emak karena takut kalau itu bisa memudarkan harapannya. Lagi pula aku juga takut kalau-kalau binturung itu memang pertanda akan kematian Bapak, meskipun tiga hari kemudian hal itu benar adanya.
Emak menjerit sejadi-jadinya ketika beberapa orang laki-laki di kampung kami menggotong jenazah ke beranda rumah. Itu jenazah Bapak, ditemukan dengan kepala berlubang dan dada telanjang di pinggir pemakaman. Peralatan sadapnya tak ditemukan.
Dari ambang pintu rumah panggung kami, aku melihat jenazah Bapak dibaringkan. Kepala Bapak berlubang. Tato kepala harimau terlihat menyeringai di dada kanan Bapak yang telanjang.
Kelak, aku akan selalu ingat, waktu itu adalah dua tahun setelah Gunung Galunggung meletus. Kelak, aku tak perlu bertanya kepada Emak perihal penyebab kematian Bapak.
(Kebun Seni, 2013)