(Pikiran Rakyat, Minggu, 24 Agustus 2014)
Perempuan itu, Maryam, istri yang baru kunikahi selama sembilan puluh hari hilang. Hilang tanpa bekas, tanpa secarik pun catatan di atas kertas, tanpa surat, pun pesan-pesan tersirat. Ia hanya hilang. Nyaris seperti ditelan angin. Hilang begitu saja.
Jika tak ingat bahwa Maryam ini bisu dan tuli, mungkin aku akan beranggapan bahwa ia pergi melarikan diri bersama laki-laki lain atau tiba-tiba tergoda untuk menjadi TKI ke Saudi. Maryam tidak memiliki sanak saudara. Di dunia ini, akulah satu-satunya kerabat yang ia punya. Memangnya ia mau pergi ke mana?
Dini hari sebelum aku mendapatinya tak di sisiku lagi, Maryam memang tidur di ranjang yang sama denganku, memeluk punggung dengan jemarinya yang kian hari kian pasi. Napasnya terasa hangat di tengkuk, menciptakan harmoni yang setiap malam begitu kukenali. Napas tidur yang gelisah, terengah-engah, entah apa yang sedang dimimpikannya. Kemudian di pagi harinya, kesunyian menikam-nikam. Napas gelisah itu tak ada lagi ketika kubalikkan badan, pun wajah tidur Maryam sempurna lekang.
Tadinya kupikir mungkin ia sedang berada di dapur, menanak nasi untuk sarapan dan membuatkan secangkir kopi. Barangkali juga ia tengah berada di kamar mandi, mencuci setumpuk pakaian bekas pakai kemarin. Atau ia sedang berada di halaman, menyapu luluhan daun jambu di pekarangan sambil sesekali tersenyum-senyum pada anak sekolah yang selalu berteriak-teriak “Torek, torek!”* di depan pagar rumah kami.
Maryam, karena tak dapat mendengar, sering kali salah sangka bahwa anak-anak itu sedang mengucapkan selamat pagi atau sampai jumpa lagi. Maka ia akan melambai kegirangan. Tepat seperti anak kecil yang tengah berpisah dengan kawan sepermainan.
Aku bangkit menuju dapur, kamar mandi, pintu depan. Tak ada Maryam, tak ada siapa-siapa. Pintu depan bahkan terkunci dari dalam, juga tiga buah jendela yang berjejer di sampingnya. Maryam bukan hantu, jadi tak mungkin ia pergi menembus dinding. Aku mulai gelisah lalu segera keluar, mencari-cari di rumah tetangga dan bertanya kepada siapa saja orang yang lewat di halaman. Tak ada yang melihatnya, tak ada yang merasakan kehadirannya. Bahkan anak-anak yang sering mengejeknya hanya menggeleng-geleng heran ketika nama Maryam kusebutkan seolah nama itu begitu asing. Maryam hilang begitu saja. Tanpa jejak, tanpa bekas.
Dengan sedikit canggung karena tak pernah lagi berurusan dengan dapur sejak berbulan-bulan yang lalu, aku menjerang air, menyeduh kopi, dan termenung di beranda. Sendirian. Aku menolak pergi bekerja setelah menelepon atasanku dan memberi alasan bahwa istriku hilang yang disambut kekehan. Bedebah! Kenapa pula atasanku itu malah tertawa justru ketika aku sedang dilanda bencana?
“Mungkin istrimu diculik genderuwo, Sep. Coba cari di pohon-pohon terdekat,” ucap atasanku. Atasanku itu tak pernah bertemu dengan istriku, juga tak hadir di hari pernikahanku. Aku tak dapat membedakan apakah ia sedang berkelakar atau serius dengan ucapannya. Yang jelas, aku ingin sekali merobek mulutnya.
Aku kembali ke dalam kamar, berniat mengganti pakaian lalu pergi ke kantor polisi. Setidaknya polisi tak mungkin mengatakan kalau istriku hilang diculik genderuwo, bukan? Namun saat aku ingin membuka lemari pakaian, mataku tertumbuk pada bingkai foto di dinding; foto pernikahan kami. Ada yang aneh di foto itu, ternyata hanya ada aku seorang yang duduk di pelaminan, tanganku terangkat di udara seperti tengah memeluk seseorang, memeluk kekosongan.
Segera saja aku berlari ke ruang tamu, merenggut album foto di bawah meja. Dengan tangan bergetar kubuka satu per satu foto di sana. Di tempat seharusnya ada wajah dan tubuh Maryam seluruhnya kosong. Foto-fotoku jadi serupa dengan pemain pantomim yang sedang memeluk seseorang di pangkuan, atau menyuapi mulut seseorang.
Tubuhku menggigil.
Setelah laporan selesai ditik, dicetak, polisi berjanji akan mengusut kasus ini dan akan datang ke rumahku untuk melakukan investigasi. Aku mengangguk, segera pergi dari kantor polisi. Tak ada lagi yang bisa kulakukan dengan aparat-aparat ini.
Dengan perasaan sunyi, aku mulai menyusuri jalan demi jalan, trotoar demi trotoar, mencari di pusat perbelanjaan, pasar-pasar, terminal, stasiun, bahkan ke tempat pelacuran. Aku tak berharap menemukan Maryam di salah satu sudut dan menjajakan tubuh, tentu saja. Aku hanya membunuh rasa penasaran.
Selembar foto yang tadi kuselipkan di dalam dompet kubuka, kuamati dengan perasaan sedih; foto pernikahan kami, foto tanpa wajah Maryam, hanya ada wajahku sendiri. Sambil berselonjor di atas trotoar dan mengisap rokok kretek dalam-dalam, kelelahan setelah mencari seharian, foto pernikahan masih kupegang erat, menatap kekosongan di sana dengan teramat lekat.
Mataku menyapu orang-orang yang berlalu-lalang. Ada pasangan yang tengah bergandengan, ada yang berjalan bersisian, ada juga yang saling memeluk seakan mereka adalah kembar siam. Ini malam Minggu, malam obral kemesraan. Sialan, aku semakin teringat Maryam, sedang apakah ia sekarang? Aku tak pernah mengajaknya jalan-jalan, tak pernah mengajaknya makan di luar.
Gerimis mulai merangkak, aku berjingkat, menjejalkan foto ke saku belakang celana dan beranjak dari trotoar. Sebetulnya aku enggan kembali ke rumah dan menghadapi kesunyian. Kukeluarkan telepon genggam, menelepon Ramdan, sahabatku sewaktu SMU. Ingin sekadar membagi kecemasan, syukur-syukur dia mau membantu.
“Istriku hilang,” ucapku getas sesaat setelah Ramdan mengucapkan ‘hallo’.
“Istrimu yang mana?” tanya Ramdan di seberang sana.
“Maryam! Istriku yang mana lagi?”
“Sep, aku tahu di usiamu yang sudah tiga puluh tahun itu kau selalu jomblo, tapi jangan membuatku khawatir. Tolonglah …” ada nada sesal, juga kesal di suara Ramdan.
“Maryam hilang, Dan. Yang harus kaukhawatirkan adalah dia, bukan aku!” aku bersungut-sungut.
“Istrimu yang mana? Siapa itu Maryam?” Ramdan mulai berteriak.
“Istriku, yang kunikahi tiga bulan lalu. Jangan bercanda, Dan. Kau kan datang di hari pernikahanku itu. Aku masing ingat kau menghadiahi kami satu set cangkir dari keramik,” ingin sekali kupukul kepala Ramdan dengan apa saja agar ia tak hilang ingatan. Kalau saja ia ada di hadapanku.
Ramdan mendengus. “Kita tidak pernah bertemu sejak sebelas tahun yang lalu, Sep.”
“Tapi aku tahu nomor ponselmu,” aku protes.
“Tentu saja, kita pernah saling bertukar nomor ponsel seminggu yang lalu di facebook. Ingat?” sepertinya Ramdan betul-betul kesal.
“Tapi kau hadir di hari pernikahanku. Kau ada di sana tiga bulan yang lalu. Aku tak mungkin lupa, tak mungkin salah mengenali orang. Aku menikah dengan Maryam, Ramdan! Dan sekarang dia hilang!” aku mulai histeris, menjambaki rambut, terduduk di tepi jalan raya.
“Datanglah kemari, Sep. Mungkin malam Minggu ini kau butuh dihibur,” akhirnya Ramdan tertawa. Ia menutup telepon.
Aku kembali disergap kesepian, dan kesendirian. Maryam, di mana aku harus mencarimu? Hujan sempurna berderai, membasuh tubuhku hingga nyaris kuyup. Tak ada kabar dari polisi, tak ada yang menghubungi. Menghubungi Ramdan tidak memberikan solusi, malah semakin membuatku frustrasi. Kembali kukeluarkan foto dari dalam saku celana, wajah Maryam belum lagi genap. Hanya gelap, hanya gelap.
Tiba-tiba aku begitu merindukan rumah, begitu merindukan napas tidurnya yang gelisah. Merindukan lirikan tajamnya ketika aku salah menyimpan pakaian kotor, aku merindukan dia … Maryam … istriku. Namun aku enggan kembali karena pasti akan mendapati dini hari yang sunyi tanpa napas gelisah Maryam.
Meski Ramdan menolak mengingat telah menghadiri pernikahan kami, masih saja tertanam pemakluman bahwa aku sudah beristri. Tak mungkin aku lupa kalau sudah beristri, bukan? Laki-laki bajingan macam apa yang lupa akan keberadaan istrinya?
Kuremas foto pernikahan di tangan, mencoba mencari jawaban dari kegelisahan. Tepat saat larik cahaya lampu merkuri menyorot di tengah tetes air hujan, ternyata ada tulisan di balik foto itu. Aku berlari, berteduh di bawah tingkap kios pedagang rokok di tepi jalan, takut tinta di balik foto itu akan berangkat pudar.
Tulisan tangan, berderet rapi. Tulisan tangan yang kukenali sebagai tulisan Maryam.
Aku tidak tuli, kau hanya selalu lupa untuk bercerita sehingga lambat-laun telingaku menolak untuk bekerja. Bagimu, aku hanya arca penunggu rumah.
Aku juga tidak bisu, kau hanya selalu lupa untuk mengajakku berbicara sehingga mulutku juga menolak untuk bekerja.
Sudah lama kau menganggapku sebagai benda: sesuatu yang kadang ada, lebih sering tiada. Kang, mungkin hidupmu akan lebih tenang kalau aku benar-benar hilang.
Maryam … aku terduduk lunglai di atas kubangan. Ingin sekali kucacah malam, mencacah kesunyian yang serentak datang. Maryam hilang.
*Torek=tuli (Sunda)