(Dimuat di Pikiran Rakyat, 29 September 2013)
Ratna M Rochiman, 40 Tahun, Pemain Teater
Jika kematian menjadi sesuatu yang sangat sakral, maka tidak begitu bagi perempuan itu: Maryam. Baginya, kematian menjadi semacam ritual yang dijadwal, persis seperti keberangkatan kereta api atau menggosok gigi di pagi hari. Ya, ia sudah mati berkali-kali kemudian hidup kembali.
Pertama kali hal itu terjadi sepuluh tahun lalu, Maryam mengira bahwa dirinya adalah siluman cecak dengan kemampuan beregenerasi. Urat nadinya yang sempat rampung kembali tersambung. Waktu itu ia mengira akan mati dengan cara yang diinginkan: telentang di atas ranjang dengan tangan terjuntai dan berlelehan darah. Dia membayangkan ubin-ubin itu akan berubah menjadi lukisan mural berwarna merah. Dalam kepalanya, adegan ibunya yang histeris dan bapaknya yang menangis berseliweran seperti film-film murahan.
Ya, ia telentang di atas ranjang. Ya, tangan kirinya terjuntai dengan lelehan darah berwarna merah. Ya, lantai kamarnya berhasil dilukis dengan pola acak berbercak-bercak. Tapi ia tak mati, ia hidup kembali.
Ia nyaris tak ingat kapan dan bagaimana kematian yang kedua, yang ketiga, dan kematian-kematian seterusnya. Yang ia ingat hanyalah bahwa ia tak pernah benar-benar berhasil mati seakan Izrail atau Tuhan sendiri enggan menerimanya. Jika manusia lain mencari cara agar terhindar dari kepungan kematian dengan berbagai ilmu kanuragan, tidak begitu dengan Maryam. Ia justru melesat ke arah sebaliknya: menyongsong kematian dengan tangan terbuka.
Di dalam kepala Maryam yang terlalu penat, waktu tidak ditandai oleh detak jarum jam atau coretan pada tanggal di almanak. Waktunya ditandai oleh peristiwa demi peristiwa: luka-luka yang tak pernah bersiap hengkang dari hidupnya. Kehilangan demi kehilangan telah ia mamah hingga kenyang. Ditinggalkan oleh orang-orang tersayang adalah peristiwa yang harus ia telan dengan dada lapang. Semua orang mati, kecuali dirinya.
Bahkan ia sempat berpikir bahwa dirinya adalah manusia abadi yang akan hidup sampai Tuhan bosan membiarkannya berkeliaran di dunia. Tapi anggapannya salah, selalu saja salah. Tuhan ternyata memiliki banyak hadiah. Hadiah itu dikirimkan suatu malam, malam yang ia anggap menjadi pemakamannya sendiri. Jika aku jadi Maryam, mungkin aku akan memilih cara kematian paling lesat, tak ada perempuan lain yang bisa bertahan dari kegilaan atau kematian terhadap apa yang Maryam temukan malam itu, tidak ada.
Maka Maryam bersiap mati, sekali lagi. Tapi tak ada yang tahu apakah itu kematian yang lain, ataukah yang terakhir.
Ratna Ayu Budhiarti, 32 Tahun, Penyair
Ketika pertama kali bertemu tiga tahun lalu, aku sudah tahu bahwa perempuan ini gila. Bukan kegilaan semacam orang gila pada umumnya, aku hanya merasa bahwa ada sesuatu dalam kepala Maryam yang membuatnya nyaris tak waras. Kadang aku ragu apakah yang berada di dalam kepalanya itu malaikat atau setan laknat.
Ia selalu mengatakan bahwa kematian adalah musuh abadi sekaligus musuh yang paling ia rindukan. Aku hanya tak habis pikir, bagaimana mungkin ada manusia yang mati, hidup lagi, mati lagi, kemudian hidup kembali. Begitu seterusnya sampai berkali-kali. Bahkan dalam tiga tahun pertemanan kami, aku sudah tak bisa menghitung berapa kali ia mati lalu hidup lagi.
Aku tidak tinggal satu kota dengannya, tapi kabar kematian Maryam selalu saja sampai ke pintu telingaku. Hari ini, dengan segala macam alat komunikasi dan berkeliarannya teknologi, tak sulit menerima kabar seperti itu.
Pada kabar kematiannya yang pertama (yang pertama aku dengar, bukan kematian Maryam secara keseluruhan), aku tunggang langgang datang ke kotanya. Aku masih ingat, waktu itu bulan Januari di tahun pertama pertemanan kami. Tergesa aku menumpang mobil travel dengan ongkos nyaris setengah honor tulisanku. Aku tak mempedulikan uang ketika itu, sebab yang ada di pikiranku hanyalah bahwa aku harus datang. Lagi pula, tidak setiap hari temanmu mati, bukan?
Maryam mati. Dia meloncat dari jembatan layang.
Kakinya patah dan kepalanya pecah.
(Meitha)
Itu pesan yang aku dapat. Pesan yang membuatku nyaris pingsan di tempat. Dengan berurai air mata sepanjang perjalanan, aku berusaha datang. Aku membayangkan kesedihan macam apa yang akan dirasakan putri semata wayangnya. Aku juga membayangkan kepedihan seperti apa yang menyelinap di dada kami, teman-temannya.
Selama perjalanan yang terasa amat panjang itu, aku berusaha mengingat Maryam dan kebaikan-kebaikannya. Kita tak boleh memikirkan keburukan orang yang sudah mati, itu tak sopan. Di dalam ingatanku, Maryam adalah tipe teman yang akan dengan sukarela menjadi pembunuh bayaran untuk membela teman-temannya. Meskipun ia jarang sekali memberikan solusi berupa materi atas masalah ekonomi yang sering kami –teman-temannya- alami, tapi ia selalu saja memberikan motivasi (Maryam menyebutnya provokasi) sehingga kami terlecut bagai kuda yang terus-menerus dipecut.
Tapi lalu apa yang aku temukan ketika aku sampai di kotanya? Ia tak jadi mati. Kakinya yang patah dan kepalanya yang konon pecah tak berbekas apa-apa. Ketika aku datang ke ruang gawat darurat rumah sakit, Meitha menyambutku dengan wajah yang tak bisa dengan tepat kubaca.
Kami tidak menemukan Maryam di tempat tidurnya. Kami justru menemukannya di belakang gedung, duduk di lantai, tak memakai sandal, merokok dengan asap menguar-uar. Ia memang tak mati.
“Anjing! Dokter-dokter di rumah sakit ini memang rese. Mereka ketakutan setengah mati saat melihatku hidup lagi,” maki Maryam. “Hai, Ayu!” tangan Maryam melambai ketika melihatku.
Aku mengamati kepalanya yang konon pecah, tapi bentuk kepalanya masih bulat meski rambutnya banyak bernoda darah. Kakinya yang konon patah sekarang sedang ia selonjorkan di atas ubin.
“Kamu …” aku terbata.
“Yu, teman kita satu ini tak jadi mati,” wajah Meitha merah padam ketika mengatakan itu. “Dan sebaiknya kamu terbiasa dengan ini. Sekarang dia melompat dari jalan layang. Mungkin lain kali dia akan melompat dari pesawat terbang. Aku sih tidak keberatan, asalkan tubuhnya tercerai berai lalu hilang di laut dan jadi makanan ikan.”
Aku terlongo.
Maryam malah terkekeh-kekeh mendengar caci-maki yang keluar dari mulut Meitha.
“Kali ini aku hanya belum beruntung, Met. Izrail sialan itu belum mau menjemputku,” Maryam masih terkekeh-kekeh.
Itulah kematian Maryam yang kusaksikan pertama kali. Selanjutnya masih banyak kematian dengan hasil yang sama: Maryam hidup kembali. Hidup dan menjalaninya dengan ketidakwarasan yang sama, bahkan semakin menjadi. Ia bahkan menikah, berumah tangga, memiliki suami, untuk yang ketiga kali.
Aku sempat beranggapan bahwa setelah menikah maka Maryam tak akan mencoba untuk mati, tapi ternyata aku salah. Malam itu, bukan Maryam yang mencari melainkan kematianlah yang mendatangi. Malam itu, jika aku jadi dia, mungkin aku juga tak akan sanggup menahan segala amuk prahara.
Maka Maryam bersiap mati, sekali lagi. Tapi tak ada yang tahu apakah itu kematian yang lain, ataukah yang terakhir.
Meitha KH, 31 Tahun, Presenter
Maryam memang gila, aku setuju dengan pendapat dua temanku itu. Tapi jika aku jadi dia, mungkin aku akan lebih gila darinya. Bagiku, Maryam lebih pantas untuk berbahagia daripada mati terus-menerus seperti yang selama ini ia inginkan.
Di pernikahannya yang ketiga, ia memang berhenti mati untuk sementara. Kupikir ia sudah benar-benar berbahagia, maka kami teman-temannya mengelus dada, ikut pula berbahagia. Setiap kali kami bertemu, wajahnya semringah seperti habis menang undian berpuluh juta.
“Aku jatuh cinta,’ bibirnya mengeluarkan sabda.
Laki-laki yang menikahi Maryam sebetulnya terhitung biasa-biasa saja, tidak tampan, tidak kaya, pekerjaannya juga biasa saja. Namun bagaimana cara Maryam menggambarkan lelaki itu sering kali membuat kami tertawa. Bagi Maryam, lelaki itu adalah lelaki paling sempurna di dunia. Konyol memang, mengingat Maryam sendiri sudah pernah bertemu dan tidur dengan berbagai macam lelaki yang segalanya lebih baik dari suaminya. Entah kenapa malah lelaki itu yang justru ia puja-puja. Ya, namanya juga cinta.
Nah, apa yang akan kuceritakan kali ini bukanlah kematian-kematian Maryam sebelumnya melainkan kematianya yang terakhir. Malam itu, Maryam datang ke tempatku dengan wajah serupa mayat, pucat. Ia tak mengatakan apa-apa selain duduk, mengeluarkan secarik kertas lalu mengangsurkannya kepadaku. Melihat tangannya yang gemetar dan bibirnya yang bergeletar, secarik kertas itu memang pantas disebut sebagai pemakamannya.
Secarik kertas itu bukanlah berisi puisi yang ia buat, melainkan foto kopi buku nikah bertanggal dua minggu sebelumnya. Buku nikah dengan nama suaminya sebagai mempelai pria dan nama perempuan lain sebagai mempelai perempuan. Buku nikah yang terdaftar di KUA Kota Jakarta.
“Sudah tiga minggu dia tidak pulang, kopian buku nikah itu aku dapatkan melalui surel, satu jam yang lalu. Dia hanya mengatakan bahwa dia mencintai perempuan lain dan menikahinya,” bibir Maryam yang bergetar bergumam-gumam.
Tak ada kata-kata penghiburan yang bisa kuhantarkan. Kebahagiaan Maryam yang selama ini kami harapkan kandas. Bahkan pernikahan sekalipun tak dapat membuat Maryam lolos dari kematian, justru menghadiahkan kematian yang lebih mengerikan.
“Sebaiknya aku mati …” gumam Maryam sekali lagi.
Maka Maryam bersiap mati, sekali lagi. Tapi tak ada yang tahu apakah itu kematian yang lain, ataukah yang terakhir.
(Kebun Seni, 26 September 2013)