(Dimuat di Inilah Koran, 23 September 2012)
Burung itu datang lagi dan mulai bernyanyi, tepat tengah hari sehabis para jamaah salat Jumat meninggalkan musala renta di tengah kampung. Musala yang hanya diisi oleh beberapa orang tua sedangkan laki-laki muda jika tidak merantau dan tak pulang berbulan-bulan, maka mereka menghabiskan Jumat siang di ladang atau di warung Ceu Edah.
“Siapa lagi yang akan mati sekarang?” suara seorang lelaki berbisik di tengah dengung para pengunjung warung.
Harum kopi yang baru diseduh menusuk hidungku.
“Sabtu kemarin Uwa Imang mati terkapar di tengah ladang, dan sekarang sirit uncuing berkicau terus, mungkin besok akan ada yang mati lagi,” kata lelaki yang lain.
“Kematian pada hari Sabtu memang selalu membawa kematian yang lain. Ck ck ck… lama-kelamaan kampung kita akan habis,” decak lelaki pertama.
Telingaku berdengung. Kematian, kematian. Aku tergopoh setelah sebungkus kopi hitam dan seperempat kilogram gula pasir pesanan Emak diletakkan Ceu Edah ke tanganku.
Burung itu kembali bernyanyi. Langkahku menuju rumah terasa semakin panjang. Dari suaranya aku tahu bahwa ia ada di sekitar rumpun bambu di belakang rumah.
Emak menyambutku di depan rumah kemudian berlalu, mungkin akan menyiapkan kopi untuk Bapak yang akan segera datang sementara aku menunggunya di depan pintu rumah panggung kami.
“Akan ada yang mati,” bisikku pada Bapak yang baru datang dari musala, benakku masih dipenuhi racauan para lelaki di warung tadi.
Langkah kaki Bapak berhenti. “Masuklah, Neng. Anak gadis tidak baik duduk di depan pintu,” katanya. Mungkin ia tidak mendengar apa yang aku katakan barusan.
“Akan ada yang mati,” aku mengulangi dengan suara yang lebih keras.
“Kamu sudah salat zuhur?” Bapak memapahku masuk.
Tanganku meraba-raba wajahnya, masih keras dan berkeriput seperti biasa. “Besok akan ada yang mati,” ucapku sekali lagi.
Bapak menghela napas. Melangkah sendiri mencari Emak, mungkin ke dapur. Aku meraba-raba dinding dan menemukan kursi rotan tua kami kemudian duduk di situ.
“Makanlah dulu,” Emak mengangsurkan piring ke tanganku.
Aroma Bapak tercium, ia duduk di sampingku sambil mengunyah menu makan siang yang disiapkan Emak. Aku diam sebentar, merapal benda-benda dalam piring dengan jemariku. Nasi hangat, dari baunya ini pasti nasi merah kesukaanku, aku tersenyum. Jemariku meraba sayuran yang juga hangat, pasti rebusan daun singkong dan sambal terasi, aku kembali tersenyum. Ah, ada juga goreng tahu dan ikan asin. Aku mulai makan dengan lahap.
“Kamu sudah salat, Neng?” tanya Bapak di tengah kunyahannya.
Aku mengangguk. “Berapa jamaah salat Jumat sekarang?” tanyaku. Ini topik pembicaraan yang selalu kami ulang setiap jumat.
“Berkurang satu orang dari minggu kemarin,” jawab Bapak. Sebagai imam tetap salat Jumat, Bapak kerap kali menghitung jamaahnya yang tidak bertambah melainkan berkurang nyaris setiap minggu.
“Mang Soma tidak hadir bukan?” aku menyebutkan salah satu penduduk kampung seusia Bapak yang kerap menghadiri salat berjamaah di musala.
“Bagaimana kamu tahu?” kunyahan Bapak berhenti.
“Bapak sendiri yang bilang kemarin kalau dia sakit,” kataku lugas, teringat nyanyian burung di belakang rumah kami. “Mungkin besok dia akan mati.”
Aku tidak mendengar Bapak berucap apa-apa, aku juga tidak mendengarnya melanjutkan kunyahan. Yang aku dengar justru batuk keras diikuti dengan suara napas yang berat tercekat kemudian kaki-kaki Emak yang tergopoh mendekat.
“Bapak juga sakit,” gumamku, tanganku meraba-raba, mencari tangan Emak.
“Bapak tidak apa-apa,” parau suara Bapak menyela di sela-sela batuknya.
“Saya buta, tapi tidak tuli. Bapak sakit, sakit keras,” suaraku bergetar.
Emak menyentuh bahuku. “Lanjutkan dulu makannya, Neng,” katanya.
“Bapak sakit …” gumamku.
Bapak mendengus. “Apa Bapak tidak pernah mengajari kamu tentang agama, Neng? Sejak kapan kamu percaya takhayul seperti itu?”
“Tapi orang-orang di kampung memang betul-betul mati pada hari Sabtu sejak sirit uncuing itu datang setiap hari Jumat, Pak.”
“Takhayul,” dengus Bapak lagi.
Aku tidak bisa tidur, suara sirit uncuing di belakang rumah terus menggema ke dalam gendang telinga, bersaing dengan batuk-batuk Bapak di kamar sebelah. Setahuku, burung bedebah itu tidak pernah bersuara di malam hari, tapi kenapa saat ini begitu lain? Apa Bapak akan mati esok hari?
Suara ketukan tanganku di pintu kamar Emak dan Bapak nyaring terdengar.
“Kamu belum tidur, Neng?” suara Emak.
“Emak juga belum tidur, kan?” tanyaku, tanganku meraba wajahnya yang berkeriput digerus usia, sama seperti wajah Bapak.
Tangan Emak menangkup di atas tanganku. “Kamu tidurlah lagi, sudah malam.”
“Bapak sakit, ayo kita bawa ke mantri di Sindangwangi.”
Emak diam, kemudian suara desah napasnya terdengar, berat dan sesak. “Sudah malam begini, Neng. Siapa yang mau mengantar? Lagipula, jika ada yang mengantar pun, jalan menembus hutan bukan hal mudah untuk dilalui.”
“Saya takut Bapak akan mati besok,” gumamku, menahan rekahan air mata.
Emak membimbingku menjauh dari kamar. Mendudukkanku di kursi rotan. Tangan hangatnya melingkar di bahuku. “Neng,” bisiknya pelan. “Kematian akan selalu datang kapan saja, kepada siapa saja, termasuk kepada bapakmu. Hari apa pun itu, kematian akan selalu datang, pasti datang.”
“Apakah Bapak akan mati besok? Di hari Sabtu seperti orang-orang lainnya?” tanyaku getas.
Suara Emak bergeleguk. “Emak tidak tahu, Bapak juga tidak tahu, tidak ada seorang pun yang tahu. Tidurlah lagi, Neng,” kemudian Emak memapahku ke kamar, memastikan aku berbaring dan memejamkan mata di atas dipan.
Tanpa sepengetahuan Emak, aku berjingkat keluar melalui pintu belakang, tersaruk menyusuri jalan setapak menuju rumpun bambu tak jauh dari rumah kami. Niatku cuma satu; mengusir burung itu agar Bapak tak usah mati besok, mati di hari Sabtu.
“Mana Bapak?” aku tergopoh bertanya kepada Emak ketika kurasakan kehadirannya di dapur. Pagi-pagi sekali.
Tangan Emak meraih tanganku. “Bapak sudah pergi pagi-pagi sekali tadi, ada keperluan,” suara Emak penuh getar cekam.
“Bapak masih hidup?” aku teringat petualanganku semalam. “Bapak masih hidup?” tanyaku lagi.
“Ya, Neng. Bapakmu masih hidup,” ada nada lega dalam suaranya. “Ayo kita sarapan dulu.”
Aku berlalu, tidak menuju kursi rotan tempat biasanya kami bersantap namun berderap ke arah pintu, menuju rumpun bambu.
Aku tidak dapat mendengar burung itu bernyanyi lagi meski sekarang aku berada tepat di bawah rumpun bambu, namun aku bisa mendengar suara orang-orang yang ribut. Aku kalap mencari Bapak, di mana ia?
“Neng, kenapa kamu ada di sini? Cepat pulang ke rumah,” suara Bapak. Jemariku meraba-raba, bersambut dengan tangan yang menarik lenganku.
“Bapak!” girang kusambut tangannya. “Ada apa? Kenapa banyak orang di sekitar sini?” kakiku melangkah tersaruk, enggan beranjak.
“Mang Soma meninggal dini hari tadi, orang-orang sedang menggali kuburnya,” suara Bapak diliputi duka. Mang soma adalah jemaah setia salat Jumat sekaligus kawan kecil Bapak.
“Ini hari Sabtu,” gumamku.
Bapak diam. Suaranya tidak terdengar kecuali gemerisik pelepah bambu yang terinjak kaki-kaki kami.
“Sabtu depan akan ada lagi orang yang mati,” gumamku lagi.
Langkah Bapak berhenti seketika, hidungku mencium punggungnya. “Neng, jangan mengoceh terus-menerus seperti ini di depan orang-orang. Ocehan kamu ini hanya akan membuat orang-orang semakin percaya dengan takhayul,” suara Bapak tegas, aku bisa membaca amarah dari nada-nada yang ia lontarkan.
“Sudah ada tiga orang yang mati,” bisikku. Lenganku mencengkram lengan Bapak. “Pertama Abah Madi, lalu Uwa Imang, dan sekarang Mang Soma. Saya tidak tahu siapa lagi yang akan mati Sabtu depan tapi kematian pada hari Sabtu akan selalu membawa kematian yang lain. Apalagi sirit uncuing bernyanyi terus menerus setiap hari Jumat. Saya tahu itu, Bapak tahu itu, seluruh warga kampung tahu itu,” aku berusaha meyakinkan Bapak.
“Jangan percaya takhayul!” suara Bapak tercekat, kemudian terbatuk. Batuk yang ribut dengan napas berat dan kerongkongan tercekat.
“Bapak sakit, saya tahu Bapak sakit,” jemariku meraba wajahnya. Dingin.
Bapak menurunkan jemariku pelan-pelan. “Ayo kita pulang!”
Langkahku terseret sementara deru napas Bapak yang semakin berat berlagu di depan. Bapak memang sedang sakit, teramat sakit.
Burung itu datang lagi dan mulai bernyanyi, tepat tengah hari sehabis para jamaah salat Jumat meninggalkan musala renta di tengah kampung. Salat Jumat pertama tanpa Bapak sebagai imam karena sudah tiga hari Bapak terbaring lesu di atas dipan.
Aku tidak lagi peduli dengan omongan setiap orang di warung kopi Ceu Edah. Aku terlalu sibuk berjongkok di bawah rumpun bambu, menajamkan telinga, mencari-cari sumber suara. Hari Jumat ini juga, sirit uncuing itu harus aku usir dari kampung. Tidak boleh ada lagi kematian di hari Sabtu.
Berbekal beberapa kerikil, aku mulai melempar-lemparkan batu ke berbagai arah. Kelisik daun bambu berhambur jatuh, tapi suara sirit uncuing itu masih utuh. Aku semakin kalap melempar sampai di lemparan entah yang keberapa tak ada lagi suara burung bernyanyi. Untuk meyakinkan diri, aku tidak lantas pulang melainkan terduduk di bawah rumpun bambu, masih mencuri dengar. Aku takut burung itu masih nekad, aku takut Bapak yang tengah sakit akan mati esok hari.
Setelah sekian lama menajamkan telinga, aku pun pulang dengan rasa berpuas diri. Bapak tidak akan mati besok, tidak akan ada lagi yang mati di hari Sabtu. Mulutku menyunggingkan senyum.
Dini hari yang sepi, tiba-tiba aku terbangun karena mendengar isak Emak di kamar sebelah. Tangis paling lirih seperti suara daun-daun meretih.
Suara pintu kamarku dibuka diikuti langkah pelan dan aroma tubuh Emak memasuki kamar. Mataku terbuka namun aku tidak bangkit melainkan menunggu, berbaring di atas dipan.
“Neng,” suara Emak serak dan sesak. “Bapakmu meninggal, setelah salat tahajud tadi,” bisik Emak.
Bapak? Meninggal? Tapi kenapa? Bukankah sirit uncuing itu sudah kuusir jauh-jauh?
“Apakah ini hari Sabtu?” kepalaku tiba-tiba penat, tidak ada pertanyaan lain yang mampu mencuat.
“Bukan, ini hari Minggu,” kata Emak.