Aku selalu percaya bahwa setiap manusia memiliki takdirnya masing-masing. Baik itu yang bisa dirubah, ataupun yang tidak. Aku juga percaya bahwa setiap manusia memiliki hak yang sama untuk mewujudkan takdir dan mimipinya masing-masing. Tanpa terkecuali.
Menjadi seorang penulis bagiku adalah cita-cita yang digenapakan oleh asa. Mimpi yang dijantera oleh darah dalam nadi. Bukan hanya pilihan profesi. Melainkan takdir yang harus aku wujudkan dan tapaki.
Prosa bukan lagi sekedar rekreasi buku diary. Puisi tak hanya jadi penumpah dedah amarah. Mereka bernafas, bergerak, memompa adrenalin untuk tetap menghasilkan karya.
Keterbatasan demi keterbatasan lambat-laun tak lagi aku hiraukan. Tak ada komputer, maka berlembar-lembar kertas dan buku tulis menjadi media. Tak ada penerbit yang sudi –mungkin belum- menerbitkan, maka blog, milis, dan catatan di facebook kumaksimalkan.
Tiga tahun belakangan aku tengah menggarap tiga buah cerita bersambung dan sebuah serial. Cerita bersambung itu berkembang tak terkendali hingga mencapai lima puluh halaman, maka kuputuskan untuk mengembangkannya menjadi novel.
Tahun lalu novel yang kugarap bertambah satu. Yang terakhir sudah selesai sebanyak tujuh puluh halaman. Semuanya aku tulis dalam tiga buah buku tulis besar dan lembaran kertas hvs yang aku bundle. Dalam satu tahun terakhir, selain novel, banyak juga cerpen yang aku hasilkan. Beberapa halaman sudah sempat aku ketik. Setiap hari pulang telat dari kantor hanya untuk menulis. Atau sesekali pergi ke warnet apabila ada dana lebih.
Kata orang, hidup tak lagi seru tanpa rintangan. Barangkali iya. Anda juga pasti akan bosan apabila hidup monoton tanpa masalah bukan? Dan ya, memang begitulah yang terjadi padaku.
Aku kehilangan seluruh draft tulisan yang kukerjakan bertahun-tahun itu karena sebuah petaka –aku menyebutnya demikian sebab efeknya memang sebesar prahara-. Semua kerja keras, riset-riset panjang, bergelas-gelas kopi, bergadang bermalam-malam, menyublim tak berbekas. Jujur, aku sama sekali berhenti menulis dan berhari-hari menangis saking shocknya. Tapi kemudian apa? Draft itu kembali? Tidak.
Bagi penulis yang karyanya didasarkan oleh mood dan sekerat mimpi, rasanya seperti setengah nyawa tercerabut lepas.
Dua kali aku mengalami ini. Pertama, USB berisi tulisan dihancurkan seseorang. Kedua, semua draft tulisanku hilang, juga disebabkan oleh orang yang sama. Namun, kini aku tertatih kembali menyusuri memori dan obsesi. Tertatih untuk menggenapkan takdirku; sesuatu yang tak mungkin aku pungkiri lagi.