Ketika mendapat kabar bahwa cerpen saya yang berjudul “Kaki-Kaki Hujan” dimuat di harian Pikiran Rakyat edisi 1 April 2012, reaksi pertama saya adalah: ah yang bener? Reaksi kedua: ah yang bener? Reaksi ketiga: alhamdulillah :D
Sudah bukan rahasia lagi di kalangan para penulis bahwa seseorang yang gemar menulis akan ditasbihkan menjadi benar-benar penulis setelah karyanya dimuat di koran. Sehingga lahirlah istilah-istilah seperti penyair koran, penulis koran, atau penulis media, dan entah sebutan apa lagi.
Bagi orang-orang, mungkin itu adalah penasbihahan, tapi bagi saya itu adalah pembebanan. Saya tidak ingin jika karier kepenulisan saya diukur dari terbit atau tidaknya karya saya di koran mana pun. Sungguh, saya hanya ingin menulis dan karya saya dibaca oleh banyak orang. Jika dengan terbit di koran maka karya saya bisa dibaca oleh banyak orang, maka saya ingin karya saya diterbitkan di koran. Tapi, saya tidak ingin itu dijadikan sebagai tolok ukur apalagi penasbihan.
“Selamat, sekarang kamu jadi penyair nasional,” kata seseorang. Saya tahu, dari sekian banyak orang yang memberikan selamat, dia adalah orang yang paling merasa bangga. Sebab dia tahu ketika saya menuliskan cerita itu, dia jadi editor sekaligus kawan brainstorming.
Dari situ saya mulai berpikir tentang sebutan penyair nasional yang dia sematkan. Merasa bangga sekaligus jadi beban. It is me? The true me? I don’t need to answer. I’ll just keep write and write.