Manusia memang mahluk dengan berjuta keinginan. Keinginan-keinginan yang tidak pernah terpuaskan sepanjang hayat masih dikandung badan, sepanjang tubuh belum berkalang tanah dan dimakan cacing. Karena saya manusia, tentu saya juga memiliki banyak keinginan, dan memang tidak pernah merasa puas. Keinginan itu selalu bertumbuh dari satu menjadi seribu, dari seribu satu menjadi sejuta. Demikian seterusnya.
Begitu juga dengan buku dan membaca. Sebagai anak yang berasal dari keluarga biasa-biasa saja,
Perjalanan Membaca, Meminjam
Dulu, di masa-masa sekolah, saya sering korupsi uang jajan dan rela ngesot ke sekolah demi membeli buku. Buku-buku itu saya lahap langsung begitu saya buka plastiknya. Saya juga magang di rental buku demi membaca buku gratis, sembunyi-sembunyi membawa novel ke rumah untuk dibaca di malam hari. “Kejahatan” kecil itu kemudian diketahui pemiliknya hingga membuat saya “disidang”.
“Tidak, saya tidak mencuri. Saya hanya ingin membaca, tapi tidak akan sempat kalau saya membaca di sini karena sedang bekerja. Jadi saya membawanya ke rumah,” begitulah pembelaan saya waktu itu.
Untungnya pemilik rental buku mengerti. Ia memperbolehkan saya membawa buku ke rumah asalkan tidak rusak dan harus dibawa kembali keesokan harinya.
Di rumah, perjalanan saya membaca pun tak mudah. Ibu selalu mengatakan bahwa membaca tidak akan mendatangkan uang dan nyaris selalu protes kalau melihat saya sedang membaca. Anehnya, beliau tidak pernah marah jika saya sedang belajar atau mengerjakan PR. Padahal, belajar ya juga membaca. Hal yang sama juga dikatakan oleh Nenek dan saudara-saudara saya yang lain: bahwa membaca adalah kegiatan yang sia-sia.
Itulah sebabnya saya sering naik ke loteng atau ke genting hanya untuk membaca. Saya juga sering dimarahi guru gara-gara ketika mereka menjelaskan saya membaca novel Sidney Shieldon yang dipinjam dari perpustakaan sekolah. Saya menyembunyikan novel itu di bawah meja.
Saya membaca juga di angkot ketika akan berangkat ke sekolah sampai-sampai pernah ada penumpang angkot yang bertanya dengan heran. Waktu itu saya masih SMK dan yang bertanya kepada saya adalah lelaki dewasa dengan penampilan seperti orang kantoran.
“Itu buku apa?” tanyanya.
Saya memperlihatkan buku yang sedang saya pegang, Megatrends 2000 karya John Naisbitt.
“Anak SMU baca buku gituan? Kok enggak baca komik aja?” tanyanya lagi dengan raut heran.
Saya hanya mengangkat bahu sebab bagi saya waktu itu tidak penting apakah buku itu cocok untuk anak seusia saya atau tidak, lagi pula saya belum begitu suka membaca komik dan buku itu lebih menarik.
Perjalanan Membaca, Membeli
Setelah saya bekerja dan punya penghasilan sendiri, saya mulai membeli buku-buku. Sekarang, walau saya tidak bekerja, saya tetap mendapatkan ‘kucuran’ buku dari teman-teman, baik itu yang barter buku maupun yang memang mengirim agar bukunya saya baca, syukur-syukur saya apresiasi. Kamar saya yang sempit isinya buku semua.
Tapi justru di situlah masalah dimulai ….
Tapi apakah saya sempat membaca semuanya? Tidak, saya membaca satu buku kemudian saya tinggalkan, beralih ke buku yang lain kemudian saya tinggalkan. Target saya untuk membaca minimal tiga buah buku dalam satu minggu juga tidak saya penuhi.
Secarik kertas berisi daftar bacaan tetap tergantung di inspiration board tanpa kemajuan pasti. Buku yang saya beli tahun kemarin masih utuh tak tersentuh. Bahkan, buku-buku antologi dengan saya sebagai salah satu penulisnya pun tidak pernah saya baca.
Jujur, saya mulai frustrasi dan merasa menjadi manusia yang tidak pandai bersyukur. Untuk apa saya memiliki banyak buku jika buku-buku itu tidak saya gunakan? Tidak saya baca. Tidak saya manfaatkan. Dan anehnya, keinginan untuk membeli buku tidak padam. Saya berubah menjadi kolektor yang obsesif terhadap keinginan untuk memiliki.
Dulu, dulu sekali … membaca menjadi kegiatan yang sedemikian menyenangkan.
Saya ingin membunuh keinginan-keinginan itu dan merasa cukup. Mengatakan cukup terhadap diri saya sendiri. Sebelum keinginan-keinginan itu membunuh saya nantinya.