Nama asli saya Susan. Nama yang sama juga dimiliki oleh jutaan orang lainnya di seluruh dunia. Nama yang diberikan oleh orang tua saya tanpa makna apa-apa selain terinspirasi dari lirik sebuah lagu.
Meski tanpa makna khusus, toh saya menyukainya. Toh, saya masih menggunakannya. Bagi Anda yang penasaran kenapa saya kerap dipanggil “Uchan”, sekarang rasa penasaran Anda terjawab. Uchan adalah nama panggilan saya sehari-hari, diambil dari nama asli.
Namun, saat mulai menulis dan mempublikasikan karya ke media, di tengah ribuan penulis Indonesia, di tengah jagat raya bernama internet, nama “Susan” hanya akan diingat sekejap lalu dilupakan saking pasarannya.
Maka saya memerlukan “tanda pengenal” sebagai pembeda: nama pena.
Skylashtar Maryam
Nama pena ini mulai digunakan sejak circa tahun 2005. Gabungan dari Sky-Kayla-Ishtar dan Maryam. Maknanya sendiri lebih tepat disebut cocoklogi. Iya, saya tidak tahu arti nama yang saya buat sendiri.
Yang jelas, saya menggunakan nama “Sky” karena suka sekali dengan langit. Bagi saya langit itu luas, tinggi, indah, agung, sekaligus misterius.
Dengan nama inilah saya mulai menjejakkan kaki di dunia kepenulisan.
- Mulai ngeblog di tahun 2009.
- Satu per satu cerpen dan puisi dimuat di media.
- Menjadi kontributor di berbagai antologi.
- Menerbitkan buku tunggal di penerbit mayor.
- Menerbitkan kumpulan cerpen dan puisi.
- Memenangi beberapa lomba menulis.
- Lolos kurasi Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) tahun 2013.
Sebagai pendatang baru di kesusastraan Indonesia yang penuh polemik, kehadiran saya sebagai perempuan cerpenis bisa dibilang terjadi begitu saja. Seakan-akan muncul dari ketiadaan.
Meskipun begitu, meski tanpa diinkubasi oleh komunitas sastra atau jadi anak asuh sastrawan senior, bisa dibilang saya berutang pada banyak orang. Pada Kang Acep Zamzam Noer yang selalu percaya bahwa karya saya cukup berharga. Pada Kang Ahda Imran yang selalu menyediakan ruang diskusi bagi para penulis muda. Pada Kang Fai a.k.a Ahmad Faisal Imron yang selalu rela ditodong traktiran makan di Ceu Mar.
Pada mendiang Pak Tandi Skober dan keluarga. Pada Kang Zaky yang saat itu masih jadi redaktur sastra Pikiran Rakyat, juga pada istrinya Teh Rere. Pada Kang Hermawan Aksan sebagai punggawa “Senandika”, rubrik sastra di Tribun Jabar. Pada mendiang Umbu Landu Paranggi yang selalu percaya bahwa saya bisa menulis puisi meski pada kenyataannya puisi saya hanyalah “cerpen yang dipenggal-penggal”.
Saya juga berutang pada Mbak Oka Rusmini, Kang Soni Farid Maulana dan istrinya Teh Heni, Teh Nenden Lilis Aisyah, Kang Matdon, dan sederetan nama lain yang tidak bisa disebut satu per satu.
Perlahan-lahan, seorang Skylashtar Maryam mulai dikenal, atau begitulah anggapan saya. Mungkin karena karyanya, mungkin karena nama penanya yang unik (atau aneh?). Entahlah ….
Kematian Skylashtar Maryam
Sebagaimana ia datang, begitu pula ia hilang ….
Tahun 2013, sebuah peristiwa meluluhlantakkan hidup saya. Itu peristiwa yang teramat menyakitkan, teramat membakar. Meski apinya telah sempurna padam, tapi abu dan jelaganya masih tersisa. Sampai sekarang.
Peristiwa itu ditandai oleh sebuah cerpen berjudul “Perempuan yang Mati Berkali-kali”, dimuat di Pikiran Rakyat.
Itu cerpen terakhir yang saya gubah. Sejak saat itu, seorang Skylashtar Maryam pun perlahan menghilang, seiring dengan cerpen-cerpennya yang seakan dipetieskan.
Maka untuk memutus rantai masa lalu, pada tahun 2013, saya menyatakan Skylashtar Maryam mati.
Langit Amaravati
Tapi ia tidak benar-benar mati. Ia … lahir kembali.
Saya lahir kembali dengan nama pena “Langit Amaravati”. Lagi-lagi, makna nama ini pun hanya cocoklogi.
Pada mulanya “Langit Amaravati” adalah nama akun Facebook milik kawan saya, Mia Indria. Akun ini digunakan khusus untuk main game. Saya meminta izin pada Mia untuk menggunakan nama itu karena ada kata “langit”-nya.
Setelah berganti nama pena, entah kenapa, saya tak jua menulis cerpen. Sebaliknya, saya justru berjalan ke arah dunia digital.
Meski tidak lagi menulis cerpen, tentu saja saya tetap menulis. Selain itu, saya merambah ke desain dan programming, sesuatu yang sebelumnya bahkan tidak pernah terbayangkan.
- Mulai ngeblog dengan lebih serius.
- Memenangkan beberapa lomba blog.
- Belajar desain secara autodidak dan jadi desainer.
- Belajar web developer, juga secara autodidak dan jadi front-end developer.
Perjalanan Berkarya
Walau nama asli dan kedua nama pena sama-sama tidak bermakna, harus saya akui bahwa nama-nama itulah yang menjadi penanda proses dan perjalanan saya ketika berkarya.
Dengan nama “Skylashtar Maryam” saya mulai jadi cerpenis. Dengan nama “Langit Amaravati” saya mulai jadi bloger serius, desainer, dan web developer.
Tapi terlepas dari romantisasi dan omong kosong soal nama pena ini, meski seperti kata Dee, nama adalah diri kita yang setiap saat diresonansikan kepada semesta, nama tetaplah hanya nama. Sekumpulan huruf yang tak akan berarti apa-apa jika pemiliknya tidak berusaha memaknainya.
Saya bisa memakai nama Iroh Maesaroh atau Neng Siti Zubaedah atau apa pun. Bisa mereka-reka makna dengan ndakik-ndakik kalau saya mau. Lalu apa?
Nama-nama itu akan tetap tanpa makna jika saya tidak berkarya.
Maka fokus saya sekarang adalah tetap berkarya. Terserah orang-orang mau mengenal saya dengan nama apa.
Skylashtar Maryam ataupun Langit Amaravati, hal itu sudah tidak penting lagi.