- Judul: Seratus Tiga; Seratus Fiksi Tiga Penulis
- Penulis: Ramdhani Nur, AK Basuki, Mamar
- Penerbit: Semai Kata
- Tebal: viii + 112 halaman
- Harga: -
- Rating: 4/5
Jam 12 malam tepat. Aku telah selesai berdandan dan memakai wewangian. Saatnya pergi menemui pacarku sesuai perjanjian lewat pesan singkat beberapa menit yang lalu. Ayah dan Ibu pastilah sudah terlelap, sementara Mbak Mamay tengah mengikuti seminar di luar kota. Tanpa mereka tentu saja aku bebas. Merekalah yang menjadi alasan hubungan back street-ku selama ini.
Ruang tamu gelap. Aman, pikirku, lalu melangkah keluar kamar dengan mengendap-endap. Satu, dua, tiga, empat….
Pintu kamar depan terbuka tiba-tiba. Mas Dhani muncul. Agak terkejut karena aku belum sempat mengetuk.
“Masuklah,” bisik suami Mbak Mamay itu sambil tergesa-gesa menarik tanganku. Lima!
Pas lima langkah dari kamarku.
Cigugur, 23 Oktober 2011
Pesan moral: lindungi menantu lelaki dari putri bungsu Anda yang terkutuk.
Cerita di atas diambil dari “Pacar Lima Langkah” yang ditulis AK Basuki, satu dari seratus fiksi seratus kata yang ada di buku ini. Hanya satu dari seratus kejutan yang akan menanti pembaca di tebing akhir setiap cerita. Memang, di sebagian fiksi mini, baik itu yang seratus kata ataupun kuantitas kata yang lain, tema dipadatkan sedemikian rupa sehingga menjadikan cerita rampung dihadirkan dalam jumlah kata yang terbatas.
Tema-Tema yang Biasa
Dari sisi pemilihan tema, tidak ada yang istimewa dari Seratus Tiga; Seratus Fiksi Tiga Penulis.Buku ini mengambil tema-tema yang biasa; televisi, kurban, internet, Idul Adha, uang, dan lain-lain. Tema-tema seperti ini tentu saja bisa ditemukan di banyak cerita baik yang fikmin maupun yang bukan.
Namun, justru di situlah kekuatan buku ini. Di tangan AK Basuki, Mamar, dan Ramdhani Nur, tema-tema biasa itu dieksekusi sedemikian rupa sehingga menghasilkan cerita-cerita yang nakal, lucu, menjengkelkan, tak jarang menyebalkan.
Jika pembaca tidak mengenal karakter tulisan ketiganya, pasti berpendapat bahwa mereka hanya bermain-main ketika menulis buku ini. Karena saya mengenal rekam jejak ketiganya, saya berasumsi memang kesan seperti itulah yang ingin mereka tampilkan. Bahwa realitas kehidupan tidak harus disikapi dengan kening berkerut dan bibir mengerucut.
Meskipun demikian, jika dicermati lebih mendalam, sesungguhnya trio macan, eh trio penulis ini memang berusaha bercanda dengan segala fenomena yang terjadi di masyarakat. Lihat saja di “Sedekah yang Ditolak” karya AK Basuki (hal 42), betapa fenomena suap telah menjamur dari aspek paling kecil seperti pembuatan KTP, pilkada, bahkan sampai di tingkat DPR dan menteri. Di tangan AK Basuki a.k.a si Kumis tema itu diceritakan dengan nyinyir, satir, penuh dengan daya sindir. Hebatnya, tema sepadat itu dikemas hanya dalam seratus kata.
Fenomena lain diceritakan oleh Mamar dalam “Buat Apa Malu?” (hal 43), dikemas dalam percakapan seorang istri dan suaminya tentang permintaan anak mereka di kampung. Di awal dan tengah cerita pembaca digiring kepada pemahaman seolah-olah tokoh adalah pengusaha atau pegawai yang memiliki gaji besar, tapi di akhir cerita pembaca justru diberi sebuah kenyataan yang begitu jauh dari ekspektasi semula. Kualitas seperti ini tentu tidak akan didapat apabila ketiganya hanya bermain-main ketika menulis cerita.
Ending dan Eksekusi
Membuat fiksi mini tidaklah mudah, sebagai penulis saya mengakui itu. Selain kelihaian mengemas cerita dalam jumlah kata yang terbatas, seorang penulis fiksi mini juga dituntut untuk jeli saat menulis ending. Jeli di sini bukan hanya membuat ending yang mind blowing, tetapi juga menjaga tempo.
Karena basic ketiganya adalah para penulis cerpen yang notabene terbiasa mengolah cerita dengan kuantitas kata dan halaman yang lebih panjang, fikmin-fikmin dalam cerita ini seperti pelepasan energi atau pemadatan cerita. Memang, sekali lagi, untuk mencapai kualitas seperti ini tidak hanya dibutuhkan kepekaan dan ‘kenakalan’ penulisnya, tapi juga membutuhkan latihan dan kuantitas serta produktivitas. Mencermati perkembangan karya masing-masing, kumpulan fikmin di buku ini adalah sebuah titik kulminasi sekaligus keberhasilan ketiganya dalam memadatkan ide di dalam kepala.
Yang patut juga disoroti dari masing-masing fikmin adalah catatan kaki di hampir setiap cerita. Catatan-catatan itu selain sebagai disclaimer, juga menjadi bagian dari ending itu sendiri. Kadang membuat kesal, kadang membuat terharu, kebanyakan membuat pembaca tertawa terbahak-bahak.
Parodi Sampul Buku
Kesan main-main juga terlihat di sampul buku. Tiga orang lelaki dengan siluet, yang diekspos justru lelaki dengan perut kembung seperti busung lapar dan sama sekali jauh dari harapan pembaca akan keindahan.
Entah karena memang konsepnya demikian, ataukah Naim Ali, sang desainer, membuat sampul bukunya ketika berada di bawah ancaman.
Ramdhani Nur, AK Basuki, dan Mamar telah berhasil membuat pembaca menikmati sebagaimana sebuah fikmin seharunya dinikmati; nikmat, lezat, dan cepat.
(Bandung, 7 Agustus 2012)