- Judul: Gray Mountain
- Penulis: John Grisham
- Penerbit: GPU
- Rating: 2/5
Dari semua novel John Grisham yang pernah saya baca, Gray Mountain adalah novel yang paling “apa sih?” Tadinya saya mengira Samantha Kofer, tokoh utama novel ini, akan secemerlang Darby Shaw dalam The Pelican Brief. Sayangnya harapan saya harus bermuara pada kekecewaan.
Samantha Kofer adalah seorang pengacara perdata di biro hukum besar yang di-PHK gara-gara resesi yang melanda Amerika dan negara lain. Sebelum resmi dirumahkan, biro menawarkan perjanjian bahwa Sam dan dua orang associate lainnya bisa kembali lagi tahun depan asalkan selama setahun itu mereka bersedia bekerja sukarela untuk lembaga nirlaba. Kesepakatan inilah yang membawa Sam ke sebuah LBH di Brady, Virginia. Tempat penambangan terbuka batu bara menjadi kehidupan utama para penduduknya.
Dan di sinilah masalah dimulai.
Penokohan
IMHO, inilah yang menjadi masalah utama dalam Gray Mountain. Tokoh Sam adalah tokoh yang menyebalkan, pesimis, apatis, egois, yang tidak punya sikap, bahkan tidak tahu apa yang akan dia lakukan terhadap hidup. Di sepanjang novel, Sam selalu bersikap seolah-olah dunialah yang tidak adil kepadanya, gadis kota besar yang memiliki orang tua kaya (meskipun keduanya sudah bercerai), sekolah di universitas favorit, yang dulunya memiliki pekerjaan menjanjikan di sebuah biro hukum terbesar di dunia.
Ketika Sam dihadapkan pada konflik demi konflik di Brady, ia tetap menjaga jarak, tetap menempatkan dirinya sebagai pekerja magang di LBH yang setiap saat bisa saja meninggalkan kota itu.
Saat klien demi klien yang membutuhkan bantuan datang ke LBH, ia tetap menjadi Sam si gadis pengacara dari kota besar. Seperti satu review yang saya baca di Goodreads, konflik di dalam novel sama sekali tidak mendewasakan si tokohnya.
Grisham seperti kehilangan minat membuat karakteristik yang lebih kuat untuk tokoh utamanya, entah kenapa. Tidak ada tokoh yang sedemikian kuat kecuali mungkin Donovan dan Mattie.
Konflik dan Alur
Dengan isu penambangan batu bara terbuka di Appalachia yang melanggar hukum, isu lingkungan, isu buruh, dan isu kemanusiaan lainnya, sebetulnya Gray Mountain bisa menjadi novel yang hebat. Sayangnya tidak begitu. Seharusnya yang menjadi konflik utama adalah keadilan bagi para penambang batu bara yang terkena penyakit paru-paru hitam (yang belum ditemukan obatnya) dan kerusakan lingkungan yang disebabkan, tapi Grisham malah menempatkan keluhan-keluhan Samantha di atas segalanya.
Di sepanjang novel, saya ingin sekali menjambak rambut Samantha dan mengatakan, “Ari maneh meuni belegug pisan!”
Konfliknya kuat andai si Sam tidak sibuk mengeluh, dan andai alurnya dibuat lebih cermat lagi.
Ending Yang paling diacungi jempol dari novel-novel Grisham adalah bagaimana kita bisa bernapas lega dan harapan yang timbul bahwa keadilan akan selalu menang seperti di Sycamore Row. Di tebing akhir cerita, saya masih berharap bahwa orang-orang kecil, para buruh batu bara yang diperlakukan tidak adil oleh “tuannya” itu pada akhirnya akan mendapatkan keadilan. Tapi, lagi-lagi, saya harus kecewa. Tak ada satu pun kasus yang berakhir dengan bahagia.
Grisham seperti kelelahan dan mengakhiri kisah begitu saja. Keputusan Samantha di akhir novel seperti keputusan yang dibuat tergesa-gesa hanya karena si penulisnya sudah tak tahu bagaimana mengakhiri novel. Itu bukan plot twist, menurut saya, itu hanyalah “permintaan maaf” penulis karena membuat tokoh dan novel yang begitu buruk.
Gaya bertutur masih khas Grisham, enak dibaca. Sayangnya banyak sekali typo, tata letak buku yang serampangan, dan -demi apa- penerbit sekaliber GPU mencetak buku dengan kualitas kover fotokopian seperti itu? Desain kovernya seperti dibuat oleh desainer yang sedang belajar Photoshop pula. -___-"
Dengan sangat menyesal saya hanya mampu memberi dua bintang untuk Gray Mountain. Tapi apakah setelah ini saya akan kapok membaca novel John Grisham? Ya, jelas, enggak lah. Novel Grisham bagi saya lebih dari sekadar bacaan, melainkan ruang kelas tempat saya belajar kepenulisan. Dan akan selalu begitu.