- Judul: O
- Penulis: Eka Kurniawan
- Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2016
- Tebal: 470 halaman
- ISBN: 978-602-032559-0
- Harga: -
- Rating: 4/5
Untuk sebuah novel yang lahir dari tangan seorang Eka Kurniawan, bagi saya O adalah sebuah novel yang nyaris gagal. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa dengan gaya bahasanya, Eka mampu menyajikan novel yang memikat. Memikat di sini maksudnya membuat pembaca tidak berhenti di tengah-tengah atau bahkan di bagian awal meski terus terang, saya memang tergoda untuk melakukan itu pada halaman 214.
Berbeda dengan novel-novel Eka sebelumnya, O seperti sebuah racauan. Imajinasi penulis yang sarat beban, tapi tidak sampai ke mana-mana selain “kenikmatan membaca”. Ketika mengatakan ini, saya tidak memakai parameter lain selain novel-novel Eka yang sebelumnya. Semacam menelusuri (atau menebak-nebak?) proses kreatif seorang penulis.
Tema
Karena novel ini mengedepankan kisah hidup -lebih tepatnya kisah cinta- seekor monyet bernama O, mungkin beberapa orang akan menebak bahwa ini surealis atau fabel atau sekadar main-main. Mudah-mudahan ini bukan spoiler, tapi saya justru menganggapnya sebagai reinkarnasi. Kegelisahan seorang penulis tentang perputaran samsara juga pertanyaan besar tentang kemanusiaan di dalam diri setiap manusia.
Jika di novel-novel sebelumnya Eka berhasil melepaskan diri dari beban moral dan segala macam fenomena sosial dengan cara “memparodikan” kisah tokoh-tokohnya, di dalam O justru sebaliknya. Dari mulai kalimat pertama, O seakan-akan dibuat untuk menyeret pembaca dengan sengaja. Hanya karena kelihaian Eka mengolah ceritalah maka novel ini tidak berubah menjadi naskah khotbah.
Lalu kisah cinta. Apa yang ingin disampaikan dari kisah cinta penuh air mata yang dimiliki SELURUH tokoh-tokohnya? Kalau bukan Eka yang menulis, saya akan menyangka bahwa ini novel drama. Walau saya mengacungi jempol keberanian Eka menyamakan Entang Kosasih dengan seorang legenda dangdut Indonesia, sebut saja Rhoma Irama. Entah ini sindiran ataukah main-main belaka.
Penokohan
Tidak banyak penulis yang sanggup menghadirkan banyak tokoh tanpa kehilangan kendali. Eka adalah salah satunya. Bahkan sastrawan sekelas Ahmad Tohari atau novelis seterkenal Dee Lestari tetap berhati-hati. Mereka, Ahmad Tohari dan Dee Lestari, terbiasa menulis dengan banyak tokoh tapi tetap mengedepankan satu atau dua tokoh, lain dengan Eka. Di setiap novelnya, Eka sanggup menghidupkan seluruh tokohnya tanpa mengorbankan karakterisasi.
Sayangnya, O tidak begitu. Iya, setiap tokoh di dalam novel diberi napas seperti biasa. Iya, setiap tokoh diberi kisah hidup yang menarik untuk diikuti. Tapi kali ini, Eka seakan kedodoran dengan karakterisasi. Saya tidak bisa membedakan yang mana O dan yang mana Kirik, yang mana Dara dan yang mana Rini Juwita, yang mana Jarwo Edan dan yang mana Rudi Gudel, yang mana Sobar dan yang mana Kiai entah siapa. Semuanya nyaris sama, berbicara dengan gaya yang sama, memiliki kepahitan yang sama. Tadinya saya agak bersorak gembira ketika tokoh si dungu Betalumur dihadirkan, tapi di tebing akhir buku Betalumur tak beda dengan tokoh-tokoh lainnya. Yang unik mungkin hanya Manikmaya si tikus pembaca pertanda.
Di Lelaki Harimau, kesuraman suasana memang begitu kental terasa, tapi tokoh-tokohnya memiliki napas sendiri, hidup sendiri, dan memiliki karakter tersendiri. Penokohannya kuat. Di Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, Eka bahkan menunjukkan selera humornya terhadap kehidupan. Tokoh demi tokoh dibangun juga dengan kuat.
Nah, di O, terasa ada jutaan wacana yang ingin disampaikan sehingga seakan-akan Eka sengaja membagi rata beban itu di setiap pundak tokoh-tokohnya. Iya, saya mengerti bahwa seorang tokoh yang memiliki latar belakang hidup getir menarik untuk dibahas di dalam sebuah novel, tapi kalau seluruh tokoh di dalam sebuah novel memiliki kisah getir, apanya yang menarik?
Tapi, saya tetap harus memuji cara Eka menghadirkan emosi tokoh-tokohnya. Saya bahkan menangis di kereta api dalam perjalanan ke Jakarta saat membaca cerita Kirik bertemu dengan induknya.
Terlepas dari tokoh-tokohnya yang nyaris serupa, saya harus memuji (sekali lagi) cara Eka menjadi binatang. Hmmm … maksud saya begini. Di novel O tokoh-tokohnya bukan manusia, ingat? Ada monyet, anjing, tikus, dan sebagainya.
Nah, cara Eka menggambarkan binatang-binatang itulah yang brilian. Meskipun mereka semua bisa berbicara dan berpikir dan memiliki perasaan, tetapi anjing tetap anjing, monyet tetap monyet, tikus tetaplah tikus.
Alur
Jika Anda calon penulis yang sudah merasa muak dengan alur maju atau mundur, belajarlah dari novel-novel Eka. Barangkali karena sudah terbiasa memakai teknik Marquez, Eka bisa dengan bebas memulai novel dari “udara”. Begitu juga dengan O, alurnya bukan lagi maju mundur, tapi zigzag. Tidak mudah menggiring cerita (dengan banyak tokoh pula) memakai alur seperti ini, kebanyakan penulis selalu tergoda untuk memakai titimangsa agar tidak membuat bingung pembaca, Eka tidak. Tapi toh, dia berhasil melakukannya.
Jika novel-novel Eka dianalogikan sebagai sebuah bidang, maka bidang yang paling tepat adalah belah ketupat. Mengerucut di awal, melebar di tengah, dan mengerucut kembali di akhir. Sayangnya, karena O diberi terlalu banyak muatan, jadinya malah antiklimaks. O, si monyet tokoh utama dan kekasihnya Entang Kosasih yang konon sudah berubah menjadi manusia diakhiri begitu saja. Saya tidak tahu tujuan Eka apa, yang jelas membaca novel ini seperti ketika bercinta, nyaris orgasme, lalu tiba-tiba kekasih kita orgasme duluan dan meninggalkan kita ke kamar mandi. Ingin nyakar-nyakar dinding.
Saya curiga karena novel ini dibuat dalam jangka waktu yang panjang (2008-2016), banyak sekali revisi yang dilakukan. Atau bisa jadi, Eka sendiri bingung bagaimana harus menuntaskan ceritanya.
Secara keseluruhan, O tetap novel yang bagus. Meski sampai saya menulis ini, saya sama sekali berhenti memakan daging. Daging apa pun. Anda akan tahu penyebabnya jika sudah membaca O.
Saya katakan nyaris gagal karena membaca novel ini cukup melelahkan, terlalu banyak muatan yang ingin dijejalkan. Saya paham bahwa dunia ini penuh manusia bangsat, tapi untuk ukuran sebuah novel, tetap saja too much.
Yang “menyelamatkan” novel ini adalah rasa pengap yang terus mengendap bahkan berhari-hari setelah saya menutup halaman terakhir buku. Khas dari novel-novel Eka. Ada semacam rasa sedih dan ironi yang menyadarkan bahwa hidup adalah sebuah tanda tanya: sudahkah saya menjadi manusia? Sebenar-benar manusia?
(Cimahi, Juni 2016)