Partikel, Sebuah Pencarian yang Tak Usai

Foto: Langit Amaravati
  • Judul: SUPERNOVA: Partikel
  • Penulis: Dewi “Dee” Lestari
  • Penerbit: Penerbit Bentang, 2012
  • Tebal: viii + 500 halaman
  • Harga: 74 ribu (tahun 2012)
  • Rating: 3/5

Membaca Partikel seperti membaca sebuah jurnal biologi yang dikemas dengan bungkus menarik. Jika dibandingkan dengan seri Supernova yang lain, Partikel adalah episode paling biasa menurut saya. Meski tidak bisa dipungkiri bahwa kemampuan Dee merangkai cerita menjadikan novel ini tidak kehilangan unsur magisnya. Jika bukan karena hal-hal unusual, flash back kehidupan tokoh sentral (Zarah) nyaris membuat saya rehat membaca.

Dee, seperti dalam seri Supernova yang lain, selalu menawarkan perspektif baru tentang bagaimana cara memandang kehidupan. Hal-hal ilmiah menginfiltrasi jalan cerita secara keseluruhan, istilah-istilah seperti enteogen, berbagai jenis fungi, dan yang lainnya bertaburan. Tidak mengejutkan memang, karena Dee adalah penulis cerdas dan berotak cadas. Riset-riset panjang, perjalanan, dan entah apa lagi yang Dee lakukan sehingga bisa sedemikian lihai meramu Partikel.

Sayangnya, berbeda dari buku-buku sebelumnya, di dalam Partikel Dee seperti kehilangan kelihaian meramu bahan-bahan riset tersebut. Maksud saya, ia seperti tidak begitu menguasai topik yang ia gubah sendiri.

Setelah menunggu nyaris delapan tahun, bisa dibilang saya sedikit kecewa karena Partikel tidak sespektakuler —sekali lagi— buku-buku sebelumnya. Mungkin karena saya memakai dan menggugah sebagai patokan untuk kata spektakuler itu.

Misalnya, melalui KPBJ (Kestaria, Putri, dan Bintang Jatuh), saya tiba-tiba ingin belajar fisika kuantum dan filsafat saking berpengaruhnya percakapan-percakapan Ruben dan Dhimas. Melalui Akar, saya bahkan ingin ke Kamboja dan menjadi pemetik ganja, ingin punya tato, dan ingin jadi backpacker.

Melalui Petir, penjaga warnet menjadi semacam obsesi tersendiri yang sampai sekarang masih saya simpan. Nah, di Partikel ini saya malah tidak ingin menjadi apa-apa, tidak ingin melakukan apa-apa, tidak pula tertarik mempelajari fungi.

Ada benang merah antara episode-episode Supernova: keberagaman. Itu yang selalu saya acungi jempol dari karya-karya Dee. Melalui tokoh-tokohnya ia berbicara bahwa Bhineka Tunggal Ika bukan wacana belaka. Membaca Supernova membuat suku, agama, ras, kewarganegaraan, status sosial, dan apa pun yang mengkotak-kotakkan manusia menjadi hablur untuk kemudian hilang.

Sayangnya di Partikel ini konsep bahwa individu hanya ilusi dan bahwa manusia yang satu dengan manusia yang lain adalah satu entitas yang saling terhubung menjadi sesuatu yang utopis, mungkin karena wacana tentang fungi-fungi dan alien itu.

Satu lagi, meski di tebing akhir ada adegan pertemuan antara Bodhi dan Elektra, pencarian seolah belum usai, dan mungkin tak akan usai. Saya penggemar novel-novel misteri dengan ending terbuka. Tapi setelah membaca semua seri Supernova, there is something missing, always. And I start to say ‘what the heck?’. Ya, hidup saya memang sudah keracunan konklusi.

Terlepas dari ekspektasi saya yang terluka, Partikel tetap menjadi novel yang layak dibaca, dikoleksi, dan diapresiasi.

Langit Amaravati

Web developer, graphic designer, techno blogger.

Peminum kopi fundamentalis. Hobi membaca buku fiksi fantasi dan mendengarkan lagu campursari. Jika tidak sedang ngoding dan melayout buku, biasanya Langit melukis, menulis cerpen, belajar bahasa pemrograman baru, atau meracau di Twitter.