- Judul: Sycamore Row
- Penulis: John Grisham
- Penerbit: Gramedia Pustaka Utama, 2015
- Penerjemah: Lily Mayanti Boynton
- Tebal: 640 halaman
- Rating: 4/5
Sycamore Row merupakan -katakanlah- sekuel dari A Time to Kill, tentang pengacara muda di Ford Country, Jake Brigance, yang menerima sepucuk surat dari Seth Hubbard. Surat itu berisi penunjukkan dirinya sebagai pengacara surat wasiat. Kedengarannya normal, tapi masalahnya Jake tidak mengenal dan belum pernah bertemu dengan Mr. Hubbard, lelaki kulit putih kaya yang gantung diri beberapa hari sebelumnya.
Surat wasiat ini juga kontroversial karena Mr. Hubbard menyebutkan secara eksplisit bahwa seluruh kekayaannya yang bernilai $24 juta (Novel ini berlatar tahun 1988, jadi Anda bisa membayangkan sebesar apa warisannya) tidak sepeser pun diberikan kepada dua anak dan cucu-cucunya. Warisan sebesar itu justru diberikan untuk 3 pihak: 5% untuk gereja, 5% untuk adiknya Ancil Hubbard yang entah berada di mana, 90% untuk pengurus rumah tangganya yang berkulit hitam, Lettie Lang.
Masalah dimulai dari sini. Surat wasiat tulisan tangan itu serta-merta membatalkan surat wasiat resmi (dibuat oleh biro hukum) yang dibuat sebelumnya. Maka terjadilah gugatan dari kedua anak Mr. Hubbard.
Saya penggemar garis kerasnya John Grisham sejak dulu kala, meski selalu gagal menyebutkan novel Grisham yang mana saja yang sudah pernah saya baca. Mungkin karena nyaris semua judul novelnya dimulai dengan “the”, tapi ada beberapa judul yang kisahnya tidak pernah saya lupa: A Time to Kill, The Rain Maker, The Street Lawyer, dan yang terbaru Sycamore Row.
Memang tidak ada hal baru yang ditawarkan Grisham dari novel-novelnya: pengacara muda, Mississippi, kasus-kasus yang pelik, persidangan, kadang-kadang rasisme, dan hal-hal semacam itu. Tapi bukan itu yang ingin saya soroti dalam pura-pura resensi ini.
Penokohan dan Karakterisasi
Ini yang membedakan para penulis luar dengan para penulis Indonesia. Beberapa penulis di Indonesia masih terjebak dalam dikotomi hitam dan putih. Baik dan jahat. Antagonis dan protagonis. Tapi tidak begitu dengan Grisham.
Tokoh-tokoh di dalamnya memiliki karakter yang kuat, saya sampai menyangka bahwa deskripsi dan dialog setiap tokoh ditulis oleh orang yang berbeda. Pun, tidak ada tokoh yang digambarkan bak malaikat seperti (maaf) Akhi Fahri, tidak ada juga tokoh super jahat seperti dalam sinetron-sinetron kita.
Tokoh favorit saya adalah Lucien Willbanks dan Harry Rex. Mereka berdua adalah pengacara “bermasalah” tapi dengan cara mereka sendiri-sendiri berhasil membantu Jake Brigance dalam usaha memenangkan kasus warisan ini. Saran saya, ketika membaca Sycamore Row, tolong tahan keinginan Anda untuk melemparkan sepatu kepada mereka berdua.
Saya tidak ingin membahas Jake Brigance karena tokoh utama dalam novel-novel Grisham biasanya agak tipikal.
Dialog
Dialog adalah salah satu unsur intrinsik karya fiksi, juga berfungsi untuk membangun karakteristik tokoh. Sudah lama saya belajar cara membangun dialog dari novel-novel John Grisham. Dan ya, dialog-dialog di dalam Sycamore Row bukan sekadar tempelan.
Selera humornya juga lucu. “Candaan khas Amerika” begitu saya menyebutnya. Saya bahkan masih bisa tertawa padahal adegan sedang tegang-tegangnya. Kenikmatan membaca ini tentu tidak akan didapat tanpa jasa pengalih bahasa Lily Mayanti Boynton.
Konflik
Sycamore Row ini tebalnya 640 halaman dengan ukuran buku 23 cm. Saya menyelesaikannya dalam 24 jam karena memang sulit untuk berhenti. Persidangan memang selau menjadi hal yang menarik dan menegangkan.
Dengan teknik roaler coaster, Grisham berhasil menggaet pembaca untuk terus memamah novelnya. Jadi memang tidak ada kalah terus, lalu menang di ending. Juga tidak ada menang gemilang yang klise itu.
Ada bagian ketika Jake Brigance dan timnya tidak memiliki harapan untuk menang, ada juga bagian harapan-harapan kecil seperti sengaja disisipkan. Yang paling membuat deg-degan adalah ketika di persidangan dihadirkan seorang saksi perempuan kulit hitam yang sempat terlibat skandal seksual dengan Seth Hubbard. Jadilah pada saat itu juri menganggap bahwa keputusan Seth Hubbard memberikan 90% warisan untuk Lettie Lang dikarenakan ada hubungan pribadi di antara mereka. Hal yang dianggap tidak pantas pada saat itu.
Konflik novel ini sangat kaya. Yang paling mengesankan adalah hadirnya tokoh Simeon Lang, suami Lettie. Mr. Lang ini sopir truk, pemabuk, jarang pulang, dan pada puncaknya melakukan sesuatu yang bisa menyebabkan Lettie kehilangan warisan.
Pesan Moral
Ini yang membuat Sycamore Row menjadi salah satu novel Grisham favorit saya. Sentuhan humanisme. Ada banyak yang ingin dikatakan novel ini, meski tidak secara gamblang. Sycamore Row berhasil mengetuk-ngetuk rasa kemanusiaan pembacanya. Bahwa keadilan adalah hak setiap orang. Bahwa manusia tidak hanya dinilai oleh warna kulit, kekayaan, atau status sosialnya.
Rasisme, sudah menjadi bagian sehari-hari di setiap negara dan budaya. Ini novel Amerika, pengarang Amerika, negeri yang disebut-sebut sebagai biang kapitalisme. Negeri yang sering dijadikan musuh dalam perdebatan politik di negara kita. Tapi justru di sinilah fungsi sastra. Mencerminkan latar belakang budaya penulis dan lingkungannya.
Honestly, saya merasa malu ketika membandingkannya dengan novel-novel kita. Memang tidak semua, tapi kita para penulis Indonesia masih saja berusaha menjejalkan kebenaran yang kita yakini dengan cara-cara yang tidak elegean. Pun kebenaran dan pesan moral dalam novel-novel kita masih berkutat di seputaran agama, suku, dan nilai-nilai yang sebetulnya lebih pantas menjadi konsumsi kamar pribadi.
Dalam hal ini, novel-novel Indonesia masih jauh tertinggal.
Klimaks dan Ending
Kejutan yang mencengangkan. Saya tidak tahu bagaimana cara menggambarkannya, juga tidak mau menerangkan kepada Anda karena akan dianggap spoiler. Yang jelas, ending novel ini menghangatkan dan agak sukar dilupakan.
Meski setelah selesai membaca, saya masih saja merasakan getirnya. Berharap bahwa bukan seperti itu kejadiannya.