Resensi The 100-Year-Old Man Who Climbed Out of the Window and Disappeared

Resensi novel The 100-Year-Old-Man Who Climbed Out of the Window and Disappeared
  • Judul: The 100-Year-Old Man Who Climbed Out of the Window and Disappeared
  • Penulis: Jonas Jonasson
  • Penerbit: Bentang Pustaka
  • Penerjemah: Marcalais Fransisca
  • Tebal: 508 halaman
  • ISBN: 978-602-291-018-3
  • Harga: -
  • Rating: 4/5

Ketika pada suatu hari Lutfi Mardiansyah melabeli novel ini sebagai buku “sangat layak baca”, saya tak langsung percaya. Pertama, karena buku terakhir yang dia rekomendasikan, My Name is Red karya Orhan Pamuk, membuat saya menyerah di bab pertama. Kedua, karena dua tahun terakhir minat baca saya memang sedang terjun bebas ke titik nadir.

Tetapi, pada akhirnya The 100-Year-Old Man Who Climbed Out of the Window and Disappeared berhasil masuk ke rak buku dan … well, Lutfi benar. Novel ini memang sangat layak baca.


Allar Karlsson, si Lelaki Berusia 100 Tahun

Allan Karlsson hanya punya waktu satu jam sebelum pesta ulang tahunnya yang keseratus dimulai. Wali Kota akan hadir. Pers akan meliput. Seluruh penghuni Rumah Lansia juga ikut merayakannya. Namun, ternyata justru yang berulang tahunlah yang tidak berniat datang ke pesta itu.

Setelah berhasil melompat lewat jendela kamarnya, Allah memutuskan untuk kabur. Dimulailah sebuah perjalanan luar biasa yang penuh dengan kegilaan.

Siapa sangka, petualangannya itu menjadi pintu yang akan mengungkap kehidupan Allan sebelumnya. Sebuah kehidupan ketika –tanpa terduga— Allan memainkan peran kunci di balik berbagai peristiwa penting pada abad kedua puluh. Membantu menciptakan bom atom, berteman dengan Presiden Amerika Serikat dan tiran Rusia, bahkan membuat pemimpin komunis Tiongkok berutang budi padanya!

Siapa, sih, Allan sebenarnya?


Novel Ini Lucu Karena …

Petualangan Allan Karlsson dimulai pada hari Senin, 2 Mei 2005, tepat ketika ia berusia 100 tahun. Lansia berusia 100 tahun yang memanjat jendela dan melarikan diri? Ya ampun, belum apa-apa saya sudah kesal karena “kenakalannya”. Tapi tidak apa-apa, karena toh saya mulai tertawa di halaman kelima.

Allan dengan spontan mencuri sebuah koper yang dititipkan kepadanya oleh seorang pemuda. Saya tak akan mengatakan kepada Anda apa isi koper itu karena saya patuh terhadap pasal-pasal spoiler. Koper inilah yang membuatnya menjadi pelarian, mempertemukannya dengan orang-orang lain, beberapa kawan, beberapa lawan, beberapa lawan yang menjadi kawan.

Hal yang paling menarik dari The 100-Year-Old Man Who Climbed Out of the Window and Disappeared (untuk efektivitas, selanjutnya hanya akan disebut sebagai “novel ini”) adalah bagaimana cerita di dalamnya dibangun. Jonas Jonasson, sang penulis, tak repot-repot menceritakan latar belakang kota atau letak geografis Kota MalmkÖping (dan kota lainnya) atau hal-hal remeh yang membosankan. Jonasson hanya fokus kepada peristiwa dan aksi yang menggaet pembaca. Lagi pula, kalau pembaca benar-benar ingin, mereka bisa mencari sendiri di peta.

Hal menarik lainnya adalah dekonstruksi atas peristiwa-peristiwa penting di abad kedua puluh. Ya, seperti yang Anda baca di blurb, Allan Karlsson diceritakan sebagai salah satu penemu, atau lebih tepatnya yang memecahkan masalah formula, bom atom di Los Alamos. Lucunya, dia pulalah yang membocorkan formula rahasia itu kepada Uni Soviet. Di bagian ini saya hanya berdoa agar novel ini tidak beredar di Jepang, kalaupun iya, semoga mereka mengerti bahwa ini fiksi belaka.

Bisa dibilang, Allan Karlsson terlibat dan menjadi bagian dari Perang Dunia I dan II karena dia ahli membuat bahan peledak dari mulai dinamit yang dipakai untuk meledakkan rumahnya sendiri sampai bom atom yang kemudian dipergunakan Amerika untuk meluluh-lantakkan Hiroshima dan Nagasaki. Selain petualangan mendebarkan di masa tuanya, kita juga akan dibawa menelusuri hidup Allan di masa mudanya dan bagaimana ia mengelilingi nyaris separuh bumi.

Lalu, di mana letak kelucuannya? Kelucuan terletak pada bagaimana pengarang menggambarkan sosok Allan. Allan digambarkan sama sekali tidak tertarik kepada politik. Pada masa itu, setiap orang berlomba-lomba ingin menjadi komunis, sosialis, kapitalis, fasis, dan paham lainnya. Sementara kepentingan Allan hanya bertahan hidup dan minum vodka.

Ia tidak digambarkan sebagai orang yang baik hati, tidak juga jahat. Ia hanya … Allan Karlsson, lelaki yang membumi-hanguskan kamp Gulag, gudang senjata Uni Soviet tempat ia kerja paksa. Alasannya sederhana: hanya karena di sana tidak ada vodka dan ia sudah tidak tahan ingin minum. Humor-humornya memang cerdas menurut saya, humor yang takarannya tepat dan tidak berlebihan. Seperti ketika ayah Allan menulis surat tentang orang-orang Bolshevik di Rusia yang (pada masa itu, tahun 1929) banyak yang buta huruf.

Dalam surat-suratnya, ayah Allan tetap membela orang Bolshevik, karena menurutnya, “Kau tak bisa membayangkan seperti apa abjad Rusia. Tidak heran banyak orang buta huruf.”

Cara Jonasson menggambarkan para pemimpin dunia juga patut diapresiasi. Stalin digambarkan sebagai pemarah dan agak gila. Presiden Truman menjadi teman baik Allan setelah “upacara” minum tequila. Atas dasar kepantasan, saya tidak bisa menyebutkan semuanya, yang jelas tawa saya pecah berantakan saat nama Suharto disebut-disebut.

Ketika asap telah hilang, tidak seorang pun dari 200 juta penduduk Indonesia yang masih menganut ide-ide komunis (supaya aman, komunis dinyatakan sebagai kejahatan). Misi berhasil diselesaikan oleh Suharto, yang sekarang mengundang AS dan dunia Barat untuk turut menikmati kekayaan negeri itu. Ini membuat roda ekonomi berputar, orang hidup lebih baik, dan terutama Suharto sendiri menjadi sangat kaya raya. Lumayan juga untuk serdadu yang mengawali karier militernya dengan menyelundupkan gula. - (hal. 368)

Dari banyaknya tokoh dan teknik dekonstruksi, novel berjudul amat panjang ini mengingatkan saya pada serial The Nicholas Flamel-nya Michael Scott. Jika Scott mendekonstruksi mitologi, Johnasson melebur dan menulis ulang sejarah dunia abad kedua puluh.

Setelah membacanya, barangkali Anda akan tergoda untuk membuka kembali buku pelajaran sejarah waktu SMP dulu dan mencocokkannya dengan peristiwa di novel. Kecuali mungkin bagian peristiwa 1965 dan Suharto karena Anda tidak akan menemukan kebenaran semacam itu dituliskan di dalam buku sejarah mana pun di Indonesia.

Kesimpulannya, saya memberikan pujian atas novel yang dituturkan dengan amat jenaka, baik narasi maupun dialog-dialognya. Novel yang apolitis sekaligus politis. Yang membawa kita ke petualangan dan rekam jejak seorang lelaki berusia 100 tahun sekaligus membuat kita kembali belajar sejarah (yang difiksikan).

Saya tidak tahu apakah novel ini diterjemahkan dari bahasa Inggris ataukah langsung dari bahasa Swedia, tapi saya harus berterima kasih atas kelihaian Marcalais Fransisca, sang penerjemah. Tanpa kerja kerasnya, barangkali novel bagus ini hanya akan berakhir seperti novel Swedia lain, The Girl with Dragon Tattoo edisi Penerbit X.

Satu-satunya kekurangan (dua sebetulnya) hanyalah tata letak yang penuh satu kata menggantung di akhir paragraf dan jenis kertas yang teramat buram. Secara teknis, tidak ada typo atau salah eja. Kalaupun ada, saya akan dengan senang hati memaafkan.

Langit Amaravati

Web developer, graphic designer, techno blogger.

Peminum kopi fundamentalis. Hobi membaca buku fiksi fantasi dan mendengarkan lagu campursari. Jika tidak sedang ngoding dan melayout buku, biasanya Langit melukis, menulis cerpen, belajar bahasa pemrograman baru, atau meracau di Twitter.