Aksara (7 tahun), dua tahun terakhir ini mulai tertarik pada astronomi. Baginya alam semesta adalah misteri yang menunggu untuk dipecahkan. Sekumpulan pertanyaan yang mesti dicarikan jawaban.
Saya tak ingat betul awal mula ia bisa begitu menyukai planet-planet dan penasaran tentang tata surya yang tengah ia diami ini. Mungkin sejak saya menceritakan bahwa matahari sesungguhnya berukuran amat besar, bukan seukuran bola voli seperti yang selama ini ia lihat.
Mungkin sejak saya sering mengajaknya mengamati bentuk bulan yang berubah dari hari ke hari. Mungkin sejak saya bercerita bahwa ada miliaran bahkan mungkin triliunan bintang di langit sana. Entahlah ….
Karena saya tak memiliki pengetahuan cukup tentang astronomi dan film Hollywood/novel sci-fi tak bisa dijadikan referensi, maka dengan rasa penasaran yang sama saya mulai memamah berbagai artikel, beberapa buku, menonton banyak video, dan mengikuti akun-akun sains di media sosial.
Kenapa saya harus sebegitu repotnya? Mungkin alasan ini terdengar cukup menggelikan: saya tak ingin Aksa menganggap Bumi ini datar.
Aksa belum bisa membaca, jadi saking totalitasnya sebagai seorang ibu, saya sempat berniat men-dubbing video-video Natgeo karena narasinya berbahasa Inggris. Untung saja itu belum saya lakukan karena ternyata banyak sekali video tentang galaksi khusus untuk anak.
Sebagaimana anak-anak yang tengah menggandrungi sesuatu, setiap saat Aksa selalu membicarakan itu, menggambar berbagai planet, menonton video, dan bermain permainan tata surya. Dalam waktu singkat dia sudah hafal jumlah dan nama-nama planet beserta ukuran dan karakteristiknya. Dalam waktu singkat pula, tembok rumah kami berubah jadi observatorium yang penuh coretan tangannya.
Jika pandemi telah selesai, saya berjanji akan membawanya ke observatorium betulan, Bosscha, untuk meneropong bintang-bintang.
Ia bukan tipe penggemar astronomi yang selow, maka perlu saya peringatkan, jangan pernah berkata bahwa Pluto itu planet di depannya. Karena jika itu kaulakukan, dia akan memberimu kuliah tentang bagaimana sebuah planet ditetapkan dan kenapa Pluto dikeluarkan dari daftar.
Setelah dari usia 2 tahun bercita-cita sebagai masinis, di usia kelimanya ia menetapkan cita-cita baru: astronot.
Misteri Lain yang Menunggu Dipecahkan
Dalam waktu beberapa bulan ia sudah bosan dengan Bimasakti dan mulai merambah ke galaksi lain, ke bintang dan tata surya yang lain. Termasuk -tentu saja- black hole dan alien.
Karena kemungkinannya tidak terbatas, Aksa pun mulai tertarik pada roket, satelit, dan segala macam printilan astronot. Pertanyaan-pertanyaan yang ia ajukan pun lebih sering membuat saya merasa jadi ibu terbodoh di dunia karena tidak sanggup menjawab.
Berikut beberapa di antaranya:
- Apa yang akan terjadi jika Bumi berhenti berputar?
- Apa yang akan terjadi jika matahari mati?
- Jangan-jangan Bumi sebenaranya berbentuk kotak. (Genre macam apa pula ini?)
- Benarkah di Neptunus tidak ada kehidupan atau hanya karena kita tidak tahu?
- Alien itu ada atau tidak?
- Jika robot dan alien menyerang Bumi, bisakah kita mengungsi ke Saturnus?
- Bagaimana cara membuat roket? Berapa harganya?
- Dan semacamnya.
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaannya, yang paling absurd sekalipun, saya selalu berusaha menjawab “seilmiah” mungkin. Jika saya tidak tahu, saya akan menjawab tidak tahu dan berjanji akan mencarikan jawaban dari sumber lain.
Robot dari Planet Lain
Saya, sih, senang-senang saja dengan minatnya, apalagi dengan cita-citanya. Tapi minat Aksa pada astronomi bukannya tanpa ekses. Ia tahu bahwa belum terbukti ada kehidupan lain di luar Bumi, ia juga tahu bahwa manusia dilahirkan bukan diantar burung bangau, tetapi entah bagaimana ia mengaku dirinya adalah robot dari planet lain.
Konon, planetnya hancur karena perang antargalaksi. Ayahnya adalah salah satu kapten dan gugur dalam perang. Ibunya, dengan kekuatan tersisa, mengirimkan Aksa ke Bumi dan “menitipkan” ia kepada saya.
“Suatu saat aku akan kembali ke planetku dan meninggalkan Bumi,” ujarnya dengan raut wajah serius.
Di satu sisi saya ingin tertawa karena menurut saya ceritanya lucu, tapi di sisi lain pilu karena saya tahu bahwa ceritanya hadir dari kedalaman alam bawah sadar. Ini bukan cerita “asal usul” pertama yang dikarang Aksa. Ketika usianya lebih kecil dia pernah mengaku pada teman-temannya bahwa ayahnya adalah Ultraman. Karena ayahnya pahlawan yang sibuk membela kebenaran, maka tidak pernah ada bersama kami.
Begitu juga dalam imajinasinya kali ini, figur ayah digambarkan sebagai sosok pahlawan yang tewas dalam pertempuran.
Kenapa pahlawan? Kenapa bukan monster atau penjahat?
Karena meskipun ayah biologisnya sudah meninggalkan kami sejak Aksa dalam kandungan, saya tidak pernah mengatakan hal-hal buruk tentangnya. Saya hanya mengatakan bahwa ayahnya pergi dan tidak kembali. Titik.
Lalu, bagaimana cara saya menanggapi cerita asal usulnya itu?
Well, saya tahu bahwa anak-anak dan imajinasinya tak harus dimentahkan dengan fakta-fakta ilmiah. Pun, karena tak ada tanda-tanda halusinasi atau sesuatu yang mengarah pada gangguan serius, saya sih santai saja.
Lagi pula, waktu kecil saya juga sering mengaku sebagai Sailor Mars, kok.
“Malang sekali nasibmu. Kalau begitu, biar Bunda jadi ibumu dan menjagamu di Bumi sampai kamu bisa kembali ke planet kamu,” begitu kata saya.
Cerita robot dari planet lain itu bertahan selama kurang lebih satu tahun. Sedangkan kegemarannya terhadap astronomi masih berlanjut sampai sekarang.
Saat ini, ketika menulis ini, saya kembali bertanya kepadanya, sekadar mengecek realita.
Anda tahu seperti apa jawabannya?
“Ya ampun, itu kan hanya cerita FIKSI, Bun. Cerita yang aku karang. Perang antargalaksi kan cuma ada di film.”
Skor 1-0 untuk Aksa.
Meskipun kesal dan merasa kegocek, tapi saya berjanji suatu saat akan mengantarkannya ke planet lain. Tentu saja bukan sebagai robot anak korban perang, melainkan sebagai ilmuwan sekaligus satu dari sedikit astronot asal Indonesia.
Semoga.