Supernova: Virus yang Menginfeksi Banyak Kepala

Supernova KPBJ
Foto: Langit

Saya bukan Guru. Anda bukan Murid. Saya hanya pembeber fakta. Perunut jaring laba-laba." - (Supernova: KPBJ, Dee Lestari)

Usianya 18 tahun ketika untuk pertama kalinya ia datang ke sebuah pameran buku tanpa bekal apa-apa. Uang di sakunya hanya tersisa seribu rupiah, hanya cukup untuk ongkos pulang sekolah. Ia tidak pernah membeli buku selain buku pelajaran sekolah, bukan karena tidak ingin, tapi karena memang tidak memiliki uang.

Baginya, perpustakaan sekolah adalah kuil, tempat suci yang membuatnya duduk berjam-jam untuk membaca Majalah Horison. Kartu perpustakaannya penuh, bukan hanya berisi daftar buku pelajaran yang ia pinjam, tapi juga novel-novel yang kelak menjadikannya seperti sekarang.

“Kuil suci” lainnya adalah Toko Buku Gramedia di Jalan Merdeka, Bandung. Karena sekolahnya berdekatan, seminggu sekali ia datang ke sana, bukan untuk membeli, tapi untuk membaca buku yang plastiknya sudah terbuka. Saat itu ia hanya memandang dan menyentuh buku-buku di rak, bertekad bahwa suatu saat akan membawa pulang beberapa.

Di pameran itulah ia bertemu dengan buku yang akan mengubah isi kepalanya, mengubah cara pandangnya terhadap hidup.

“Edisi fotokopi”, begitu buku itu dilabeli. Dibandrol dengan harga semurah mungkin agar para mahasiswa dan pelajar masih bisa membeli. Tapi, baginya buku itu masih terlalu mahal, akan menggerus nyaris seluruh uang saku mingguannya. Maka ia hanya membaca blurb di sampul belakang, membaca beberapa lembar secara acak, lalu pulang ke rumah dengan hati yang patah.

Sepanjang akhir pekan ia sudah merengek kepada ibunya, meminta uang saku lebih agar ia bisa membeli buku, sayangnya rengekannya tidak bertemu kenyataan. Ia hanya diberi kalimat yang kelak akan terus ia ingat, “Untuk apa beli buku? Buku tidak bisa menghasilkan uang.”

Namun gadis itu begitu keras kepala, di hari Senin, sepulang sekolah ia datang lagi ke pameran dan membeli buku yang ia inginkan meski ia tahu bahwa seminggu ke depan artinya ia harus siap berjalan kaki dari rumah ke sekolah. Sarijadi-Wastukencana, bukan jarak yang dekat. Buku itu ia bawa pulang, menjadikannya semacam “kitab suci”, buku yang dibeli dengan penuh perjuangan. Supernova: Ksatria, Puteri, dan Bintang Jatuh (KPBJ).

Buku itu ia baca berkali-kali, menuliskan penggalan-penggalan puisinya di buku harian, main kucing-kucingan dengan ibunya yang entah kenapa selalu berang ketika melihat ia membaca.

Ketika hari tak begitu terik, ia akan duduk di loteng untuk membaca, berdesakan dengan jemuran dan omelan ibunya dari lantai bawah. Buku itu juga ia baca ketika jam istirahat sekolah sambil menyantap bekal yang ia bawa dari rumah. Tidak, ia tidak jajan, uangnya sudah habis di awal minggu.


Waktu lesat layaknya peluru, takdir membawa perempuan itu ke berbagai stasi. Kepada kehidupan sebagai perempuan dewasa. Ia menikah, memiliki anak, bekerja, bercerai, meniti karier sebagai penulis, jadi korban KDRT, dan banyak lagi peristiwa yang berjejalan di setapak kehidupannya.

Ia lupa tentang buku yang pernah dibelinya dengan penuh perjuangan, buku yang berakhir entah di mana karena ia pinjamkan kepada teman yang tengah berada di penjara. Tapi ada satu tokoh yang diam-diam menginfeksi seperti serotonin yang mengendap dalam darahnya: Supernova atau Diva Anastasia.

Antara sadar dan tidak, ia menjadi Diva Anastasia. Berbicara seperti Diva, menulis seperti Diva, bersikap seperti Diva, dan berpikir seperti Diva.

Sebelum ia membaca buku itu ia sering kali mengeluh tentang ejekan yang dilarungkan teman-temannya. Ejekan yang berkaitan dengan fisik. Ia sering kali dikatai hitam, jelek, berbibil tebal, dan ejekan-ejekan lain yang bisa membuat hati perempuan mana pun patah. Namun Diva menjadikan ia tak peduli lagi dengan ejekan-ejekan itu. Ia tumbuh menjadi perempuan dewasa yang menganggap tubuh sebagai kendaraan untuk menghadapi hidup. Baginya, perempuan cantik bukan perempuan yang sesuai dengan anggapan setiap orang. Perempuan cantik adalah perempuan yang percaya diri, yang tahu bahwa dirinya cantik, tak peduli raungan orang-orang di luar sana.

Ia juga berbicara seperti Diva, menjadikan kata-kata sebagai “senjata”. Teman-teman dan pasangannya mengenal ia sebagai perempuan bermulut sadis dan bengis, tapi mereka juga tahu bahwa yang ia sampaikan adalah kebenaran, betapapun menyakitkan. Meskipun begitu, tidak sedikit yang menganggap ia sebagai teman yang menyenangkan untuk diajak berbincang tentang apa saja. Teman yang membuat orang lain rela datang ke sekretariat komunitas tempatnya dulu tinggal, yang membuat orang lain rela datang dari luar kota hanya untuk ngobrol dan ngopi.

Ia bersikap seperti Diva. Bengis di satu sisi, tapi selalu berusaha menjadi manusia paling baik di sisi yang lain. Ia tidak punya penghasilan bertarif dollar, tapi tidak pernah menolak jika ada orang yang membutuhkan pertolongan, materi maupun non materi.

Ia membaca seperti Diva, mereguk ilmu dari mana saja, membaca nyaris semua berita dan duduk diam sebagai pengamat. Arus informasi baginya adalah bifurkasi yang membawa dia kepada pemahaman demi pemahaman. Ia tidak hanyut, sebab ia menempatkan diri sebagai perunut.

Ia berpikir seperti Diva. Berusaha menjadi manusia yang benar-benar hidup, bukan hanya manekin yang disetir pendulum bernama waktu. Ia tahu risiko apa pun dari setiap keputusan yang ia ambil. Menjadi tuan atas dirinya sendiri, bukan hanya gerigi dari sebuah sistem.

Ia menulis seperti Diva, seperti Supernova. Tanpa ia sadari, kata-kata yang ia tuliskan menjadi mantra sekaligus bisa. Obat sekaligus racun yang menginfeksi para pembacanya. Mendetoksifikasi benak orang-orang. “Cyber Psychologists”, banyak orang yang menjulukinya demikian ketika tulisan-tulisannya tentang KDRT dan dunia perempuan disuguhkan. Jika Supernova menjadi virus di mailing list, ia menjadi virus di Facebook dan blog. Jika Supernova hadir sebagai sosok yang anonim, ia dan peristiwa-perisitiwa dalam hidupnya justru berada di panggung, menginfeksi orang-orang secara langsung.

Tak jarang, inbox Facebooknya dipenuhi para perempuan yang sedang berusaha meminjam kekuatan. Tidak, ia tidak pernah memberikan saran atau solusi, yang ia berikan justru cermin. Meminta kepada mereka yang bertanya untuk berkaca, yang ia lakukan hanya memandu.


Hari ini, empat belas tahun sejak ia membaca Supernova: KPBJ, ia tak lagi harus menyisihkan uang saku untuk membeli buku. Ia bisa membeli buku apa pun yang ia inginkan. Gramedia di Jalan Merdeka masih menjadi kuil suci yang ia datangi sebulan sekali. Tidak, kali ini ia tidak hanya datang untuk membaca lalu pulang, ia datang untuk memilih buku dan membelinya. Kadang satu, kadang dua, lebih sering setengah honornya habis di sana. Tapi ia tidak menyesal, “Balas dendam terhadap kemiskinan,” begitu ia menyebutnya. Ia juga tak harus mendengar racauan Ibu sebab ia sudah bisa membuktikan bahwa membaca jelas bisa mendatangkan uang.

Hari ini, empat belas tahun sejak antara sadar dan tidak ada Diva yang menginfeksi isi kepalanya, tokoh novel itu sudah membentuk karakter perempuan ini. Ia menjadi perempuan yang tahu bagaimana cara menjalani hidup. Perempuan yang tahu bagaimana caranya menjadi manusia. Sebenar-benar manusia.

Hari ini, empat belas tahun sejak pertemuannya dengan sebuah buku, ia masih saja takjub tentang bagaimana seorang tokoh di dalam novel bisa mengubah hidup seseorang.

Hari ini, gadis itu sudah menjadi seorang perempuan dewasa berusia 32 tahun, seorang penulis. Takdir dan buku kumpulan cerpen yang ia gubah membawanya ke Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) 2013, dan coba tebak siapa salah satu jurinya? Tak lain adalah penulis buku yang ia jadikan “kitab suci”, pencipta Diva Anastasia: Dee Lestari.

Hari ini, perempuan itu sudah siap menginfeksi benak banyak orang dengan tulisan-tulisannya.

Perempuan itu … saya.

(Catatan: Pertama kali dipublikasikan pada 29 November 2015. Diikutkan dalam “Gramedia Blog Competition” dan meraih juara pertama.)

Langit Amaravati

Web developer, graphic designer, techno blogger.

Peminum kopi fundamentalis. Hobi membaca buku fiksi fantasi dan mendengarkan lagu campursari. Jika tidak sedang ngoding dan melayout buku, biasanya Langit melukis, menulis cerpen, belajar bahasa pemrograman baru, atau meracau di Twitter.